Sehat Sejati, Refleksi Hari Kesehatan Mental Sedunia

Sehat Sejati, Refleksi Hari Kesehatan Mental Sedunia
foto ilustrasi. ist

*)Oleh: dr. Amril Huda
Dokter di sebuah Rumah Sakit di Sumenep

Ada seorang perempuan muda sedang duduk di pojok ruang tunggu itu. Kakinya bergoyang-goyang, menggetarkan ujung hijabnya yang menjuntai hingga lutut. Wajahnya datar, tanpa ekspresi. Pasienkah dia? Tidak, karena di sana tidak ada Poli Jiwa. Namun dari raut wajahnya, tampak jelas: ia sedang sakit.

Bacaan Lainnya

Perempuan muda itu menatap kosong ke arah tembok. Di sebelahnya, sang suami duduk sambil memegang map kehijauan berisi hasil laboratorium: tekanan darah normal, kolesterol baik, gula darah bagus, hanya asam urat sedikit di atas batas. Semua tampak baik-baik saja.

Namun, di dalam map itu tak ada hasil pemeriksaan untuk hatinya yang retak, pikirannya yang berat, atau tidurnya yang tak pernah nyenyak.

Itulah kesehatan jiwa. Sebuah penyakit yang tidak pernah muncul di hasil laboratorium.

Hari ini, 10 Oktober, dunia memperingati World Mental Health Day, Hari Kesehatan Mental Sedunia. Namun, di banyak tempat, orang masih lebih mudah mengaku sakit maag daripada mengaku cemas.

Lebih rela membawa anak ke klinik gizi daripada ke psikolog. Karena kata “psikolog” masih terdengar seperti vonis yang kurang mengenakkan.

Padahal, depresi bukan sekadar lemah iman. Cemas bukan hanya kurang syukur. Burnout bukan dosa zaman modern. Itu semua adalah tanda bahwa otak, organ paling lembut, juga bisa mengalami kelelahan.

Saya teringat seorang teman lama. Dulu energinya seperti matahari. Ia selalu bersinar, selalu menyala.

Sampai suatu hari, dia berhenti bicara. “Capek pura-pura kuat,” katanya lirih. Barulah saya sadar, ternyata orang paling ceria bisa jadi yang paling sepi.

Rumah sakit kini banyak memiliki ruang rawat jiwa, tapi rumah-rumah kita belum tentu punya ruang empati. Kita sibuk memeriksa jantung, ginjal, dan liver, tapi jarang menanyakan, “Apakah kamu benar-benar baik-baik saja?”

Mungkin sudah saatnya Hari Kesehatan Jiwa tidak hanya diperingati dengan seminar dan poster hijau, tetapi juga dengan pelukan yang tulus, kasih sayang yang hangat, kebersamaan yang nyata, dan telinga yang mau mendengar tanpa menghakimi.

Karena obat pertama untuk luka jiwa bukan pil atau suntikan, melainkan perhatian dan keberadaan sesama manusia.

Yang tak terlihat di ruang tunggu itu kadang jauh lebih sakit dari mereka yang sedang menunggu hasil laboratorium.

Kadang, yang paling butuh pertolongan bukanlah mereka yang terbaring di ranjang rumah sakit, melainkan mereka yang masih bisa tersenyum sambil menahan tangis.

Mari belajar melihat yang tak terlihat, menyentuh yang tak terucap, dan menjadi ruang aman bagi jiwa-jiwa yang sedang berjuang diam-diam. Karena sehat yang sejati bukan hanya ketika tubuh kuat, tetapi ketika hati tenang dan pikiran damai. Wallahu a’lamu. (*)

 

disclaimer

Pos terkait

klan ucapan HUT Pemprov Jatim dari Bank jatim