Pengembangan Sumber Belajar Sejarah Berbasis Tradisi dan Sejarah Lokal Sebagai Penopang Program Pemberdayaan Kampung Penyangga Situs Cagar Budaya Material Kabupaten Sidoarjo

Pengembangan Sumber Belajar Sejarah Berbasis Tradisi dan Sejarah Lokal Sebagai Penopang Program Pemberdayaan Kampung Penyangga Situs Cagar Budaya Material Kabupaten Sidoarjo

Oleh: Reza Hudiyanto, Ismail Lutfi, Ronal Ridhoi

Penetapan sejumlah bangunan cagar budaya di Kabupaten Sidoarjo membuka peluang baru bagi dunia pendidikan dan masyarakat. Tak hanya menjadi simbol masa lalu, bangunan-bangunan peninggalan era klasik dan kolonial itu kini dapat dihidupkan kembali sebagai sumber belajar sejarah yang bermakna.

Sidoarjo memiliki kekayaan sejarah luar biasa, mulai dari tinggalan masa Hindu-Buddha hingga peninggalan kolonial seperti pabrik gula dan bangunan berarsitektur Eropa. Namun, di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan kawasan industri, banyak situs bersejarah yang terancam punah atau dilupakan. Padahal, cagar budaya bukan sekadar benda mati, tetapi aset kebudayaan yang dapat memperkuat karakter bangsa dan menumbuhkan kesadaran sejarah masyarakat.

Bacaan Lainnya

Sayangnya, perhatian terhadap cagar budaya di tingkat pendidikan masih minim. Guru sejarah, yang seharusnya menjadi ujung tombak pewarisan nilai sejarah, belum banyak mendapatkan dukungan sumber belajar yang relevan. Sebagian besar materi sejarah di sekolah masih berfokus pada sejarah nasional, sementara sejarah lokal hanya menjadi sisipan.

Kondisi inilah yang melatarbelakangi kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh tim dosen dan peneliti dari Universitas Negeri Malang bekerja sama dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah Kabupaten Sidoarjo. Kegiatan bertajuk “Pengembangan Sumber Belajar Sejarah Berbasis Tradisi dan Sejarah Lokal” ini bertujuan untuk menyusun bahan ajar sejarah lokal berbasis cagar budaya yang dapat dimanfaatkan oleh para guru di Sidoarjo.

Kegiatan workshop diikuti oleh 27 guru sejarah SMA/SMK. Mereka diberikan draft buku “Sejarah Lokal Sidoarjo” yang berisi pemetaan 27 Objek Cagar Budaya (OCB) yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2022 dan 2024. Buku ini memuat narasi sejarah yang mengaitkan temuan arkeologis dengan konteks pendidikan dan sosial masyarakat masa kini.

Dari hasil diskusi dan umpan balik, terungkap sejumlah temuan penting. Pertama, sekitar 75 persen guru menyatakan bahwa sekolah mereka belum memiliki alokasi khusus untuk sejarah lokal. Kurikulum nasional yang padat membuat ruang bagi sejarah daerah menjadi sangat terbatas. Selain itu, 92 persen guru berpendapat bahwa mereka kekurangan referensi ilmiah yang memadai, sehingga sering kali mengandalkan cerita tutur yang sulit diverifikasi.

Kedua, keterbatasan dana dan izin menjadi hambatan utama dalam mengajak siswa melakukan kunjungan lapangan ke situs sejarah. Mayoritas sekolah hanya mampu melaksanakan kegiatan tersebut sekali dalam setahun, bahkan ada yang belum pernah sama sekali.

Padahal, potensi sejarah Sidoarjo sangat kaya. Dari sisi kronologis, wilayah ini memiliki dua karakter utama: periode klasik dan periode kolonial. Pada masa klasik, Sidoarjo menjadi bagian penting dari peradaban Sungai Brantas, jalur transportasi kuno yang menghubungkan pusat-pusat kerajaan di Jawa Timur. Bukti-bukti arkeologis seperti struktur bata, arca, dan sumur kuno memperlihatkan bahwa kawasan ini pernah menjadi kota pra-industri yang maju.

Sementara pada periode kolonial, Sidoarjo dikenal sebagai pusat industri gula. Keberadaan Pabrik Gula Tulangan dan sejumlah bangunan peninggalan Belanda menjadi saksi sejarah perkembangan ekonomi lokal. Kedua karakter ini memperlihatkan bahwa Sidoarjo bukan hanya penyangga Surabaya, tetapi juga bagian penting dari perjalanan peradaban Jawa Timur.

Melalui kegiatan ini, guru-guru MGMP Sejarah menyadari pentingnya mengintegrasikan pengetahuan lokal ke dalam pembelajaran. Cagar budaya tidak hanya dilihat sebagai benda yang dilindungi, tetapi juga sebagai sumber daya budaya yang hidup. Contoh yang paling menonjol adalah Candi Pari di Porong. Situs ini berhasil dihidupkan kembali menjadi pusat edukasi dan wisata sejarah berkat kolaborasi antara guru, masyarakat, dan pemerintah daerah.

Konsep heritage community—yakni masyarakat yang memiliki kesadaran untuk merawat dan memanfaatkan warisan budaya di lingkungannya—menjadi inspirasi utama kegiatan ini. Para guru berperan sebagai agen perubahan (agent of change) yang menghubungkan situs sejarah dengan pembelajaran di sekolah dan pemberdayaan masyarakat sekitar.

Hasil akhir kegiatan ini adalah tersusunnya draft buku “Sejarah Lokal Sidoarjo Berbasis Cagar Budaya” yang akan disempurnakan bersama para guru. Buku ini diharapkan menjadi pedoman pembelajaran yang mudah diakses, berisi data ilmiah, serta mampu menumbuhkan kebanggaan terhadap identitas lokal Sidoarjo.

Ke depan, guru-guru MGMP mengusulkan dua langkah strategis bagi pemerintah daerah: pertama, melakukan inventarisasi aset budaya di setiap kecamatan beserta potensi pengembangannya; kedua, memberikan pendampingan bagi masyarakat di sekitar situs untuk mengembangkan ekonomi kreatif berbasis warisan sejarah.

Melalui upaya ini, pelestarian cagar budaya tidak berhenti pada perlindungan fisik semata, tetapi juga menjadi bagian dari pembangunan sosial dan pendidikan. Guru sejarah dapat menjadi katalisator dalam menjembatani masa lalu dengan masa kini, memastikan bahwa warisan leluhur tidak hanya menjadi kenangan, tetapi juga sumber inspirasi untuk membangun masa depan.

Pelestarian budaya adalah investasi jangka panjang. Sidoarjo memiliki peluang besar untuk menjadikan sejarah lokal sebagai kekuatan baru dalam pembangunan daerah—sebuah langkah untuk menegaskan bahwa kemajuan tidak harus melupakan akar sejarah. Dengan menghidupkan kembali cagar budaya sebagai sumber belajar, kita tidak hanya melestarikan benda, tetapi juga menghidupkan kesadaran, karakter, dan jati diri bangsa.

disclaimer

Pos terkait

iklan KKB Bank jatim