Malang, SERU.co.id – Sejumlah aktivis dan organisasi masyarakat sipil di Malang Raya membentuk Forum Advokasi Ruang Sipil Malang Raya. Forum tersebut menjadi wujud komitmen memperkuat perlindungan hak kelompok rentan.
Perwakilan dari Women Crisis Centre (WCC) Dian Mutiara, Sri Wahyuni mengungkapkan, ruang kebebasan sipil saat ini kian menyempit. Menurutnya, hal ini menjadi tanda keprihatinan mendalam bagi masyarakat sipil, khususnya di wilayah Malang Raya.
“Puncak keprihatinan kami adalah kebebasan sipil yang semakin terbatas. Karena itu, kami berkomitmen untuk membangun ruang komunikasi yang baik dengan pemerintah melalui forum ini,” seru Wahyuni, usai deklarasi di Hotel Atria, Kamis (13/11/2025).
Wahyuni menegaskan, masyarakat sipil berperan penting dalam menjaga nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. Namun, suara mereka kini semakin melemah.
Ia juga menyoroti meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan perdagangan manusia di Indonesia. Hal ini membuktikan lemahnya perlindungan negara terhadap kelompok rentan.
“Sejak 2010, rata-rata ada 50 kasus kekerasan terhadap perempuan setiap tahun. Tapi pada 2024 jumlahnya melonjak hingga lebih dari seratus kasus,” paparnya.
Menurutnya, situasi ini menuntut adanya gerakan bersama antara pemerintah dan masyarakat sipil. Ia meyakini, ruang sipil yang aman dan terbuka akan membuat korban berani bersuara tanpa rasa takut.
“Forum Advokasi Ruang Sipil nantinya mendapatkan tanggungjawab besar dalam memastikan kemerdekaan setiap individu sebagaimana pembukaan UUD 1945 alinea pertama. Kami berperan dalam pencegahan, penanganan, hingga pemulihan korban dari ketidakadilan,” ungkapnya.
Forum ini diinisiasi oleh berbagai organisasi, seperti organisasi keagamaan Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI), Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), Ahlul Bait Indonesia (ABI). Ada juga YLBHI-LBH Pos Malang, WCC Dian Mutiara, Forum Mahasiswa Peduli Inklusi UB, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, dan lain-lain.
Pembentukan ini mendapatkan respon positif, salah satunya dari aktivis tuna rungu, Sumiyati. Forum Advokasi Ruang Sipil tidak hanya memberikan pendampingan, tapi juga membuka ruang perjumpaan yang inklusif.
“Dulu saya pernah mengalami pengalaman diskriminasi saat masih sekolah. Selepas SD Luar Biasa, saya sekolah di sekolah umum dan seringkali tidak dihiraukan oleh guru, hanya dituntut seperti yang lain,” kenangnya.
Sumiyati menyebut, di tengah dinamika tersebut diperlukan empati dan saling memahami satu sama lain. Berbekal pengalaman tersebut, ia berkomitmen menyuarakan hak-hal perempuan dan kelompok tuna rungu.
Selain itu, perwakilan Ahlul Bait Indonesia (ABI) Malang, Muhammad Haddad menekankan, pentingnya literasi dan dialog antarumat beragama untuk memperkuat toleransi di masyarakat. Ia mengatakan, kelompok Syiah di Malang dapat menjalankan keyakinannya tanpa mengalami diskriminasi.
“Kami di Malang bisa hidup berdampingan dengan damai. Masyarakat sudah mulai memahami siapa kami dan tidak termakan narasi-narasi yang berusaha mendiskreditkan kelompok minoritas,” ujarnya.
Haddad mengatakan, ke depan forum ini akan mengadvokasi berbagai kelompok rentan, termasuk perempuan dan anak-anak. Kerja sama dengan berbagai pihak seperti WCC dan mengenalkan diri pada kelompok lain, seperti kelompok difabel menjadi kunci keberhasilan menjaga ruang sipil yang inklusif. (bas/mzm)








