Di balik puing-puing beton dan debu reruntuhan Musala Putra Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, harapan belum padam. Sore itu, puluhan relawan, petugas SAR, dan keluarga santri masih berjibaku dengan waktu. Mereka berpegang pada satu hal: keyakinan bahwa beberapa santri masih hidup di bawah sana.
Duka menyelimuti halaman posko darurat yang didirikan di Asrama Putri Kampus 2 Al Khoziny. Ratusan orangtua duduk bersila, sebagian berdiri memeluk tubuh sendiri, menunggu kabar anak-anak mereka yang belum kunjung ditemukan. Suara tangis lirih sesekali terdengar, menyatu dengan deru genset dan perintah pendek dari petugas lapangan. Namun di tengah kepanikan, masih terselip harapan.
“Apalagi, pagi tadi kami sempat berhasil melakukan komunikasi dengan salah satu santri yang terjebak di dalam reruntuhan,” ujar Kepala Kantor SAR Kelas A Surabaya, Nanang Sigit.
“Bukti itu menjadi harapan besar bahwa beberapa korban masih dalam kondisi hidup di bawah reruntuhan bangunan,” imbuhnya.
Menurut Nanang, komunikasi singkat itu menjadi pemicu semangat seluruh tim untuk terus menggali dan menembus blok-blok beton yang bertumpuk. Santri yang sempat menjawab panggilan dari luar itu langsung diberi suplai oksigen, makanan, dan minuman melalui celah sempit di reruntuhan.
“Kami berusaha menjaga kondisinya tetap stabil sampai proses evakuasi bisa dilakukan sepenuhnya,” ungkapnya.
Musibah ini terjadi saat proses pengecoran bangunan musala berlangsung. Bangunan tersebut tiba-tiba ambruk, menjebak puluhan santri yang sedang beraktivitas di dalamnya. Dari total sekitar 140 santri yang berada di lokasi, 102 orang telah berhasil dievakuasi. Sebanyak 91 santri menyelamatkan diri secara mandiri sesaat setelah musala roboh.
Sementara 11 lainnya ditemukan dalam proses evakuasi yang dimulai sejak Senin (29/09/2025) petang hingga hari ini.
“Kalau dari informasi dari pondok ada 140 santri, kemudian dikurangi dengan 102 santri, berarti masih ada sekitar 38 santri yang belum dievakuasi,” terang Nanang. “Memang hitungan keseluruhan kami tidak bisa memastikan, tapi jumlah itu kalau tidak salah sekitar itu.”
Hingga Selasa sore, dua alat berat telah disiagakan di sekitar musala. Namun, penggunaannya masih ditunda karena kondisi bangunan yang sangat labil. Getaran sedikit saja bisa menyebabkan reruntuhan tambahan, membahayakan korban yang kemungkinan masih hidup di dalam.
“Kami tetap berkomitmen mengevakuasi seaman dan seterukur mungkin. Doakan saja semua bisa terselamatkan tanpa kendala berarti,” kata Nanang dengan nada serius namun penuh harap.
Untuk mendukung proses pencarian, area sekitar reruntuhan kini diperluas dan disterilkan. Tim SAR meminta masyarakat untuk tidak membuat keributan yang bisa mengganggu pendengaran petugas saat mendeteksi suara dari bawah puing.
“Petugas sangat sensitif terhadap suara. Karena itu, kami minta masyarakat tidak mendekat atau membuat keributan di sekitar lokasi kejadian,” pinta Nanang.
Sementara di posko darurat, dapur umum dan layanan kesehatan terus siaga, bukan hanya untuk relawan dan petugas, tapi juga untuk para orang tua yang nyaris tak beranjak dari tempat mereka menunggu. Di mata mereka, harapan hidup anak-anak mereka jauh lebih penting dari waktu dan kelelahan.
Di tengah malam yang makin larut dan udara yang makin dingin, seutas doa mengalir dari mulut para ibu, ayah, kakak, dan adik. Mereka menggenggam harapan: bahwa dari balik reruntuhan itu, masih ada suara yang akan menyahut lagi. (wan/ono)