Malang, SERU.co.id – Guru Besar Hukum Pidana Anak Universitas Brawijaya, Prof. Dr Nurini Aprilianda menyoroti lemahnya implementasi perlindungan anak di tengah maraknya kasus penculikan. Ia menggarisbawahi buruknya koordinasi aparat dan rendahnya kewaspadaan masyarakat. Ia menekankan urgensi memperkuat pencegahan, penegakan hukum dan sistem adopsi agar tidak dimanfaatkan sindikat penculikan.
Menurut Prof. Nurini, kerangka hukum dari UUD 1945, UU Perlindungan Anak, KUHP, hingga regulasi teknis, sejatinya telah memberikan dasar kuat. Ancaman pidana bagi pelaku juga cukup tegas.
“Antara lain Pasal 328 dan 330 KUHP lama memuat ancaman hingga 12 tahun penjara. Aturan dalam KUHP baru bisa menjadi pedoman meski belum berlaku penuh. Aparat juga dapat menjerat pelaku dengan Pasal 76F dan 83 UU Perlindungan Anak, atau UU TPPO jika terdapat unsur eksploitasi,” seru Prof. Nurini, Rabu (19/11/2025).
Ia menambahkan, dalam kasus tertentu, orang tua kandung yang terlibat penculikan tetap dapat dipidana. Hal ini berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi menggunakan Pasal 330 KUHP lama.
“Instrumen hukum cukup lengkap tapi persoalan justru terletak pada lemahnya struktur hukum dan budaya hukum masyarakat. Koordinasi antarinstansi, mulai dari Polri, pemerintah daerah, sekolah, hingga dinas sosial, masih belum responsif. Upaya pencegahan seperti pemasangan CCTV lingkungan atau sistem peringatan cepat pun belum merata,” urainya.
Ia juga menyoroti rendahnya kewaspadaan masyarakat. Banyak warga tidak mengenali modus penculikan dan cenderung mengabaikan perilaku mencurigakan di sekitar mereka. Prof. Nurini menyinggung maraknya adopsi ilegal yang kerap berkelindan dengan sindikat penculikan.
“Calon orang tua angkat yang tidak mengetahui asal-usul anak tidak otomatis dapat dipidana. Namun, mereka tetap bisa dimintai pertanggungjawaban jika sengaja mengabaikan prosedur hukum atau menutup mata terhadap kejanggalan dalam proses adopsi. Prosedur resmi melalui Dinas Sosial dan penetapan pengadilan wajib dipenuhi,” tegasnya.
Terkait penanganan kasus di lapangan, ia meminta masyarakat untuk selalu mengutamakan keselamatan anak. Laporan cepat ke kepolisian melalui layanan 110, penyampaian informasi ke RT/RW, hingga pencatatan ciri pelaku, sangat membantu proses penyelamatan.
“Warga pun jangan sampai melakukan tindakan main hakim sendiri. Hal itu dapat membahayakan proses hukum dan keselamatan warga sendiri,” kata Prof. Nurini.
Untuk memperkuat perlindungan anak, Prof. Nurini mendorong pemerintah meningkatkan kapasitas penyidik. Terutama dengan pendekatan child-sensitive investigation, memperkuat SOP lintas sektor, serta memanfaatkan teknologi keamanan seperti CCTV publik dan sistem pelaporan cepat. Audit menyeluruh terhadap mekanisme adopsi juga diperlukan guna menghentikan praktik ilegal dan memutus jaringan sindikat.
“Modus penculikan terus berubah. Karena itu, edukasi publik harus berjalan terus-menerus. Perlindungan anak hanya bisa tercapai jika negara, keluarga, dan masyarakat bekerja bersama,” pungkasnya. (aan/mzm)








