Surabaya, SERU.co.id – Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Himpunan Wiraswasta Minyak dan Gas (Hismawa Migas) dengan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) yang difasilitasi DPRD Kota Surabaya terkait reklame SPBU kembali tertunda. Agenda yang seharusnya berlangsung Kamis (2/10/2025) itu batal dilanjutkan lantaran Kepala Bapenda dan Inspektorat Kota Surabaya tidak hadir untuk ketiga kalinya.
Wakil Ketua Komisi B DPRD Surabaya, Mochamad Machmud, S.Sos., M.Si menyayangkan sikap Pemkot Surabaya yang hanya mengutus pejabat setingkat kepala bidang. Menurutnya, absennya pejabat yang memiliki kewenangan pengambilan keputusan membuat forum mediasi kehilangan arah.
“Untuk kesekian kalinya, Kepala Bapenda tidak hadir. Inspektorat juga tidak hadir. Padahal kita membahas hasil pertemuan dengan BPK yang menemukan adanya tagihan Rp1,6 miliar. Sementara Pemkot malah mengajukan tagihan mulai 2019 hingga 2025, yang justru tidak ada dalam laporan BPK,” tegas Machmud dalam konferensi pers usai rapat.
Machmud menegaskan DPRD akan kembali menjadwalkan rapat dengan terlebih dahulu menanyakan kesanggupan kehadiran pimpinan instansi terkait.
“Kalau tidak bisa di DPRD, ya bisa saja di Pemkot. Yang penting segera ada solusi, karena ini menyangkut waktu dan kepercayaan masyarakat,” ujarnya.
Sekretaris DPC Hismawa Migas, Sidha Pinasti, juga menilai ketidakhadiran pimpinan Bapenda mengurangi kewibawaan forum. Ia mencontohkan perihal tanda silang pada sejumlah SPBU yang semestinya sudah dicabut sesuai hasil rapat sebelumnya, namun hingga kini masih terpasang.
“Kalau hanya janji tanpa realisasi, rapat menjadi mubazir. Tanda silang itu menimbulkan kerugian reputasi dan material bagi pengusaha migas,” tegas Sidha.
Sementara pakar hukum Universitas Narotama, Dr. Himawan Estu, SH., MH., menyoroti aspek legal dari persoalan pajak reklame SPBU ini. Menurutnya, pemerintah daerah tidak boleh memberlakukan tagihan retroaktif.
“Hal-hal yang membebani subjek hukum tidak boleh berlaku surut. Kalau pajak sudah dibayar sesuai ketetapan pemerintah, lalu dikoreksi sepihak bertahun-tahun kemudian, itu menimbulkan persoalan hukum serius,” jelasnya.
Di sisi lain, perwakilan Bapenda, Ekkie Noorisma, menegaskan pihaknya masih menunggu arahan pimpinan sebelum mengambil keputusan. Ia berdalih prinsip kehati-hatian menjadi alasan utama.
“Masukan sudah kami catat. Namun tindak lanjutnya ada di ranah pimpinan. Kami tetap berusaha memberikan yang terbaik, tapi perlu evaluasi dari sisi hukum dan bisnis,” katanya.
Hingga kini, keputusan final terkait pencabutan tanda silang maupun penagihan pajak reklame SPBU belum tercapai. DPRD menegaskan akan terus mendorong penyelesaian agar tidak berlarut-larut.
sengketa pajak reklame SPBU ini bukan hanya soal angka, melainkan menyangkut kepercayaan publik terhadap transparansi dan konsistensi pemerintah. Selama pimpinan instansi terkait terus mangkir, jalan keluar akan tetap kabur, dan masyarakatlah yang akhirnya menanggung dampaknya. (fai/ono)