UB Resmikan Work Station UNESCO, Wayang Sutasoma Jadi Panggung Diplomasi Budaya

UB Resmikan Work Station UNESCO, Wayang Sutasoma Jadi Panggung Diplomasi Budaya
Pagelaran wayang dengan kisah Sutasoma berhasil membuat penonton terpukau. (bas)

Malang, SERU.co.id Universitas Brawijaya (UB) meresmikan pembukaan workstation UNESCO. Salah satu rangkaian agendanya, menggelar pagelaran wayang dengan menampilkan tokoh Sutasoma sebagai panggung diplomasi budaya.

Rektor UB, Prof Widodo SSi MSi PhDMedSc mengungkapkan, pagelaran wayang digelar sebagai bagian dari pembukaan Work Station UNESCO. Pagelaran wayang dipilih sebagai upaya menguatkan kecintaan generasi muda terhadap budaya lokal.

Bacaan Lainnya

“Ini dalam rangka pembukaan Work Station UNESCO di UB. Kebetulan ada banyak tamu dari mitra-mitra kami dari UNESCO, diantaranya dari Korea, Cina hingga Thailand,” seru Prof Widodo, Jumat (22/11/2025) malam.

Tahun ini, UB menggandeng Sanggar Gumelaring Sasangka Aji (GSA) yang menghadirkan dalang cilik dan wiyaga muda dari generasi Alpha hingga Z. Mereka membawakan Lakon Pangeran Sutasoma, kisah klasik tentang perjalanan seorang ksatria mencari jati diri.

“Pagelaran ini melibatkan anak-anak muda, para pelajar, supaya mereka tetap ingat dan dekat dengan budaya wayang. Kisah Sutasoma dipilih, karena kisahnya yang melahirkan nilai luhur Bhinneka Tunggal Ika,” ungkapnya.

UB Resmikan Work Station UNESCO, Wayang Sutasoma Jadi Panggung Diplomasi Budaya
Rektor UB bersama sivitas, jajaran UNESCO dan budayawan mengapresiasi pagelaran wayang menampilkan kisah Sutasoma. (bas)

Prof Widodo menerangkan, lakon Sutasoma yang membentuk karakter Brawijayan, menjadi nilai dasar pijakan seluruh proses pendidikan di UB. Karakter itu mencakup inklusivitas, wawasan global, penghargaan terhadap keberagaman, gotong royong, serta religiusitas.

“Kami harus menyadari bahwa masyarakat kita beragam. Pemahaman tentang keberagaman dan kesadaran sosial adalah pilar penting dalam membentuk mahasiswa UB,” jelasnya.

Terkait kolaborasi dengan UNESCO, UB menegaskan, komitmennya tidak hanya melestarikan budaya lokal. Tetapi juga memperkenalkan budaya Nusantara ke dunia internasional.

“Budaya adalah bentuk soft diplomacy. Dengan dikenalnya budaya kita, kerja sama lintas negara akan lebih mudah terbangun. Semua berkat diplomasi budaya,” terangnya.

Ia mengatakan, penguatan diplomasi budaya dapat membuka peluang kerja sama perdagangan hingga memperluas penerimaan produk Indonesia di pasar global. Tentu hal tersebut membutuhkan perjuangan, seperti melalui UB Work Station UNESCO. Sebagai pusat aktivitas akademik dan kebudayaan yang terhubung langsung dengan jaringan global UNESCO.

Sementara itu, Sanggar GSA menyiapkan pertunjukan yang segar dan relevan untuk generasi masa kini. Dibawakan oleh dalang-dalang muda, lakon Pangeran Sutasoma disajikan dengan sentuhan yang lebih dekat dengan anak-anak dan remaja.

Di panggung UB, para pemain muda itu bukan sekadar menghidupkan tokoh leluhur. Tetapi juga membawa pesan kemanusiaan universal yang melampaui zaman, tentang welas asih, kebijaksanaan, pengorbanan dan persatuan dalam keberagaman.

*Kisah Pangeran Sutasoma: Proses Pencarian Jati Diri dalam Kesederhanaan Hidup Dalam hening yang suci, ketika dunia masih bergulat antara cahaya dan kegelapan, lahirlah seorang pangeran dari negeri Hastina. Dialah Sutasoma, putra Prabu Mahaketu, yang membawa sinar welas asih sejak awal hidupnya.

Baca juga: FIB UB Bersama UNESCO Berdayakan Industri Kreatif Berbasis Warisan Budaya

Di balik keagungan istana dan kemegahan tahta, tumbuh jiwa yang merindukan kedamaian dan kebenaran hakiki. Ketika tiba saatnya dinobatkan menjadi raja, Sutasoma menunduk, menolak mahkota yang disodorkan kepadanya.

la memilih jalan sunyi, meninggalkan singgasana, melangkah menuju puncak Gunung Semeru. Di sanalah ia mencari makna sejati kehidupan, menapaki jalan yang tidak diukur oleh kuasa, tetapi oleh kebijaksanaan jiwa.

Di tengah perjalanan spiritualnya, Sutasoma diuji oleh kehidupan. Seekor induk harimau kelaparan hendak memangsa anak-anaknya sendiri. Sutasoma datang, bukan dengan pedang, melainkan dengan kasih. la menyerahkan dirinya menjadi santapan, demi menyelamatkan kehidupan lain.

Begitu pula ketika seratus raja hendak dikorbankan kepada Batara Kala, Sutasoma dengan penuh keikhlasan menggantikan mereka. Cintanya begitu luas, menembus batas manusia, menggetarkan nurani para raja dan bahkan para dewa.

Dari laku dan kasihnya, lahir kesadaran baru. Sang raja yang lalim bertobat, sang harimau kembali pada kodrat kasih, hingga dunia pun merasakan kedamaian sejati. Inilah jalan Pangeran Sutasoma, jalan yang berakar pada nilai Ilahi, bernafas dengan jiwa yang suci, dan berdenyut dalam cinta yang tulus.

Nilai-nilai inilah yang menjadi roh Brawijayan, nilai yang hidup di Universitas Brawijaya. Ilahi adalah kesadaran akan Tuhan yang meliputi segalanya. Suci adalah kejernihan jiwa yang tunduk pada kebenaran. Cinta adalah kasih tanpa batas, yang menyatukan manusia dan semesta.

Melalui kisah Sutasoma, para penonton diajak merenungi kembali siapa dirinya masing-masing. Bahwa kemuliaan tidak lahir dari kekuasaan, melainkan dari pengorbanan. Kekuatan sejati tidak terletak pada tangan yang menggenggam, tetapi pada hati yang rela memberi.

Inilah kisah Sutasoma, kisah manusia Brawijaya. Kisah tentang jiwa yang suci, cinta yang menyala dan kesadaran ilahi yang menuntun langkah menuju peradaban agung. (bas/rhd)

disclaimer

Pos terkait

iklan KKB Bank jatim