Akademisi Hukum UB Desak Pencabutan Gelar Pahlawan Soeharto Buntut Keputusan Sarat Paradoks

Akademisi Hukum UB Desak Pencabutan Gelar Pahlawan Soeharto Buntut Keputusan Sarat Paradoks
Akademisi Hukum UB menjelaskan, pemberian gelar pahlawan Soeharto harus dicabut. (bas)

Malang, SERU.co.id – Akademisi Hukum (UB) mendesak pencabutan gelar pahlawan untuk Soeharto. Ia menyebut, keputusan pemerintah terkait pemberian gelar pahlawan nasional bagi mantan Presiden RI tersebut sarat paradoks.

Akademisi Hukum Administrasi Negara dan Hukum HAM UB, Dr Muktiono SH MPhil mengungkapkan, keputusan pemerintah bertentangan dengan catatan pelanggaran HAM pada masa Orde Baru. Menurutnya, rezim Soeharto menyisakan sejumlah persoalan serius, seperti impunitas, kerusakan lingkungan, penindasan terhadap perempuan hingga sektor agraria.

Bacaan Lainnya

“Presiden Soeharto menormalisasi praktik KKN yang seharusnya merupakan tindakan pidana. Itu dampak buruk yang masih terasa hingga sekarang,” seru Muktiono, Jumat(14/11/2025).

Pria yang juga mengetuai Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM) Indonesia itu mengatakan, pemberian gelar tersebut sangat paradoks. Pasalnya, Soeharto dijadikan pahlawan bersama para korban rezim Orde Baru yang dipimpinnya.

“Ini sangat paradoks, karena Gus Dur dan Marsinah adalah tokoh yang justru menjadi korban rezim Soeharto, tetapi semuanya diberi gelar pahlawan. Kami angkatan 98 mempertanyakan, kalau yang kami turunkan dijadikan pahlawan, lalu kami ini apa? Apakah penjahat?” ungkapnya.

Ia menegaskan, penuntutan pencabutan gelar bukan sekadar persoalan simbolik. Akan tetapi menyangkut tanggung jawab negara atas pelanggaran masa lalu yang belum tuntas hingga kini.

Muktiono juga menduga adanya upaya untuk menetralkan konflik dan mengikis memori kritis publik melalui penyandingan foto Soeharto dan Marsinah. Sebagaimana diketahui, hal tersebut sempat menjadi sorotan publik saat penganugerahan gelar pahlawan di Istana Negara.

“Wacana pengangkatan Soeharto menjadi pahlawan sudah bergulir sejak era Presiden SBY. Di era berikutnya semakin menguat dengan penghapusan Soeharto dari KKN, sebenarnya sudah ada upaya sistematis menuju hari ini,” ujarnya.

Ia pun menyayangkan, semakin banyak generasi muda tidak memahami sejarah yang membuka ruang bagi impunitas. Karena itu, kesadaran masyarakat sipil perlu terus dirawat, supaya kejahatan masa lalu tidak hilang begitu saja dari ingatan kolektif bangsa.

“Generasi muda banyak yang tidak tahu siapa Marsinah dan siapa Soeharto. Perdebatan akhirnya hanya terjadi di kalangan yang memahami sejarah. Ini PR besar bagi kita,” tuturnya.

*Khawatir Pengaburan Sejarah dalam Pendidikan

Muktiono juga mengingatkan adanya potensi pengaburan sejarah dalam pendidikan. Hal tersebut bisa terjadi jika narasi baru tentang Soeharto mulai dilegalkan negara melalui gelar kepahlawanan.

“Kalau Soeharto dijadikan pahlawan, tentu akan ada narasi kontra terhadap pelanggaran HAM dan problem Orde Baru. Ini bisa menimbulkan hambatan dalam menjelaskan sejarah yang sebenarnya,” katanya.

Ia menegaskan, sejarah tidak seharusnya dimonopoli negara. Penulisan sejarah harus menjadi ruang ilmiah yang terbuka bagi akademisi, peneliti dan masyarakat sipil.

“Kalau negara menulis sejarah resmi, itu berpotensi menjadi instrumen propaganda. Setiap pergantian rezim bisa menulis ulang sejarah. Nalar publik akan makin rusak,” tukasnya.

Akademisi Hukum UB itu mengakhiri pernyataannya dengan menyerukan rekonstruksi sejarah harus dilakukan melalui pendekatan ilmiah. Dengan demikian, penyusunan sejarah bebas dari kepentingan politik kekuasaan demi masa depan bangsa. (bas/rhd)

 

disclaimer

Pos terkait

iklan KKB Bank jatim