Jakarta, SERU.co.id – Usulan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, sebagai pahlawan nasional memicu gelombang perdebatan. Di satu sisi, Soeharto dinilai layak mendapatkan penghargaan atas jasa besarnya dalam pembangunan dan stabilitas nasional. Namun di sisi lain, banyak pihak menyebut langkah itu sebagai upaya menghapus dosa rezim Orde Baru.
Menteri Sosial, Saifullah Yusuf memastikan usulan gelar pahlawan Soeharto tidak dilakukan tergesa. Ia menegaskan, pembahasan telah melalui mekanisme panjang oleh Dewan Gelar. Bahkan berulang kali menggelar sidang sebelum usulan diajukan ke Presiden.
“Berbeda pendapat boleh, tapi semua proses sudah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Semuanya nanti tergantung hasil keputusan Dewan Gelar,” seru Gus Ipul, dikutip dari CNN, Jumat (24/10/2025).
Ia menilai, secara administratif, Soeharto memenuhi syarat formil untuk mendapatkan gelar tersebut.
Sementara itu, Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai memilih berhati-hati menanggapi isu ini. Ia menyebut, pemberian gelar pahlawan merupakan keputusan politik negara. Harus dilihat dari kepentingan nasional, bukan sekadar moral individu.
“Kementerian HAM tidak akan berkomentar soal itu. Kalau berdasar pada pelanggaran HAM dan pembunuhan, maka semua pahlawan di dunia pernah membunuh. Hanya pahlawan kebudayaan atau kesenian yang tidak,” ujarnya.
Ketua Umum Satkar Ulama Indonesia, Idris Laena menyatakan, Soeharto layak mendapat gelar pahlawan nasional. Menurutnya, semua ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan sudah terpenuhi.
“Saya kira semua syarat itu sudah dipenuhi oleh Pak Harto. Tidak ada alasan negara menolak pemberian gelar tersebut,” kata Idris.
Namun, penolakan keras datang dari berbagai kelompok masyarakat sipil. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebut, Soeharto tidak layak karena memiliki catatan kelam pelanggaran HAM berat dan praktik korupsi di masa Orde Baru.
Wakil Koordinator Bidang Eksternal Kontras, Andrie Yunus menegaskan, pihaknya telah menyerahkan data pelanggaran HAM ke Kementerian Sosial dan Kementerian Kebudayaan. Data tersebut diharapkan sebagai bahan pertimbangan.
“Terdapat lima hingga enam kasus pelanggaran HAM berat di era Orde Baru. Dimana kekerasan dilakukan dengan kekuatan militer. Soeharto tidak layak diberi gelar pahlawan,” tegas Andrie, dilansir Wartakota.
Nada serupa juga datang dari Amnesty International Indonesia. Direktur Eksekutif, Usman Hamid menyebut, usulan menjadikan Soeharto pahlawan nasional adalah bentuk pengkhianatan. Terutama terhadap semangat reformasi 1998 yang menggulingkan kekuasaan otoriternya.
“Soeharto jatuh akibat protes rakyat yang melahirkan reformasi. Memberinya gelar pahlawan justru mengkhianati amanat reformasi itu sendiri. Langkah Kemensos mengusulkan nama Soeharto adalah upaya sistematis untuk mencuci dosa rezim Orde Baru,” pungkasnya. (aan/mzm)








