Malang, SERU.co.id – Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB) kembali menggelar International Seminar on Culture and Science (ISCS) yang keempat. Melalui kegiatan ini, pihaknya mendorong kolaborasi global dalam meningkatkan kontribusi ilmu pengetahuan melalui kajian komparatif lintas budaya.
Wakil Dekan I FIB UB, Dr Yusri Fajar SS MA mengungkapkan, seminar ISCS IV merupakan upaya pengembangan kajian budaya dan seni di tingkat global. Kegiatan tahunan ini diselenggarakan oleh Departemen Seni Budaya, Program Studi Antropologi dan Seni.
“Seminar ini menjadi ruang strategis untuk membangun diskusi intelektual lintas negara yang mengangkat isu-isu budaya, seni dan perkembangannya di era kemajuan teknologi. Kegiatan ini diharapkan menjadi forum intelektual yang penting untuk memperkuat kajian budaya dan seni, tidak hanya di Indonesia, tapi juga secara global,” seru Yusri, Senin (22/9/2025).
Yusri menegaskan, FIB UB ingin membuka pintu kolaborasi dengan para pakar, profesor dan peneliti dari berbagai negara. Pendekatan multidisipliner sangat dibutuhkan, termasuk integrasi teknologi dalam memahami dinamika budaya dan keterkaitan antara seni tradisional dengan seni kontemporer.
“Kreativitas dan inovasi menuntut kita melihat budaya dan seni dari perspektif perkembangan teknologi. Melalui pendekatan multidisipliner, kita bisa melakukan diskusi, dialektika pemikiran, sehingga kajian ini bisa berkontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan,” ungkapnya.
Tahun ini, ISCS IV menghadirkan pembicara dari berbagai negara, seperti peneliti dari Universiti Malaysia Serawak, serta narasumber dari Jerman dan Taiwan. Kehadiran mereka diharapkan mampu memperkuat jejaring global dan mendorong diseminasi pengetahuan secara lebih luas.
“Kami ingin seminar ini mengglobal, tidak terbatas hanya di Asia, tapi juga melibatkan tokoh dari Eropa dan benua lainnya. Dengan demikian, kita bisa belajar hasil kajian budaya dan seni dari berbagai belahan dunia untuk memperkaya khazanah pengetahuan,” ujarnya.
ISCS IV tidak hanya menyasar mahasiswa FIB UB, tetapi juga kalangan akademik yang lebih luas. Keterlibatan mahasiswa sendiri sangat didorong, agar mereka bisa mendapatkan wawasan langsung dari para pakar internasional.
“Mahasiswa kami diharapkan aktif dalam mengeksplorasi kajian mutakhir dan dari para peneliti global. Pembelajaran tidak boleh berhenti di ruang kelas, tapi harus berkelanjutan, karena budaya dan seni benar-benar hidup dan luas sekali ruang lingkupnya,” tambah Yusri.
Para peserta dan pembicara seminar antusasi mengikuti seminar ISCS IV. Kegiatan diawali dengan penampilan Tari Beskalan, kesenian lokal Kota Malang sebagai penanda sambutan selamat datang, yang kaya nilai sejarah dan filosofi.
Komitmen Edukasi Budaya melalui Pengabdian Masyarakat
Sebagai bagian dari implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi, FIB UB juga berupaya membawa hasil kajian dan penelitian budaya ke tengah masyarakat. Yusri menerangkan, hal ini dilakukan melalui berbagai program pengabdian masyarakat, menjadi wujud nyata peran universitas sebagai agen transformasi sosial.
“Kami memanifestasikan hasil kajian dalam program pengabdian masyarakat yang melibatkan mahasiswa dan dosen. Kolaborasi juga dilakukan dengan stakeholder terkait, seperti desa, perusahaan dan lembaga kemasyarakatan,” ujarnya.
Pemberian wawasan edukasi budaya dinilai penting untuk memahami dinamika keberagaman Indonesia dan global. Dengan demikian, persatuan bangsa tidak mudah terpecah belah dan mampu memahami persamaan maupun perbedaan dengan sikap arif bijaksana.
Kajian Komparatif Budaya: Menemukan Benang Merah Memperkuat Diplomasi
Dalam konteks global, Yusri menekankan, pentingnya kajian komparatif untuk menemukan benang merah antar budaya. Persamaan historis dan nilai budaya menjadi potensi besar dalam pengembangan ilmu budaya dan seni.
“Kajian komparatif memperluas cakrawala. Ini penting untuk memahami fenomena budaya dalam skala luas. Kajian komparatif memperkuat peran budaya, serta seni sebagai bentuk diplomasi budaya,” jelasnya.
Yusri mengatakan, diplomasi budaya merupakan implementasi hasil kajian budaya dan seni dalam berhubungan dengan negara lain. Hasil kajian lintas budaya selain penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan, juga berkontribusi dalam menciptakan relasi antarnegara yang harmonis.
“Kami meyakini kajian budaya dan seni mampu meminimalisir potensi-potensi konflik terkait politik maupun ideologi tertentu. Karena budaya dan seni memiliki sebuah kekuatan sebagai culture diplomation di tengah dinamika masyarakat lokal dan global,” tuturnya.
Senada, Akademisi sekaligus Peneliti Universiti Malaysia Serawak, Louis Ringah Kayan PhD menegaskan, kajian budaya dan seni sangat penting. Dalam konteks kajian global, kajian ini memperkaya wawasan serta membantu memahami keterkaitan lintas budaya.
“Saya memaparkan tato dalam pemaknaan seni, sosial, hingga pemaknaan religius masyarakat. Di Malaysia, tato dikenal luas dalam budaya suku Iban di Serawak, sebagaimana dikenal juga di kalangan suku Dayak lainnya di Indonesia dan kebudayaan melanesia, polinesia dan lain-lain,” paparnya.
Di era kemajuan teknologi, beragam karya seni tato bisa divisualisasikan dan dikenal secara luas sebagai inspirasi seni kontemporer. Pengenalan budaya ini juga penting untuk mengidentifikasi berbagai persamaan dan perbedaan budaya dan seni lintas bangsa hingga rumpun etnis.
“Di beberapa budaya, tato juga mencerminkan keahlian seseorang, seperti ahli menenun, menganyam dan lain-lain. Bahkan dari tato kita juga bisa belajar dinamika konflik yang pernah terjadi, seperti pemaknaan negatif tato oleh rezim politik hingga pertemuan ideologi berbeda,” pungkasnya. (bas/rhd)