MBG Saat Libur Sekolah Tuai Kritik, Dinilai Tak Efektif dan Urgensinya Dipertanyakan

MBG Saat Libur Sekolah Tuai Kritik, Dinilai Tak Efektif dan Urgensinya Dipertanyakan
MBG di sekolah. (ist)

Jakarta, SERU.co.id – Program MBG kembali menuai sorotan usai pemerintah memastikan penyalurannya tetap berjalan di masa libur sekolah. Sejumlah ekonom, legislator dan pengamat kebijakan menilai kebijakan tersebut berisiko tidak efektif, boros anggaran dan menyimpang dari tujuan awal. Perdebatan pun menguat, antara mengejar serapan anggaran atau memastikan manfaat nyata bagi anak dan keluarga.

Guru Besar FEB Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr R Agus Sartono MBA mengkritisi dasar perhitungan anggaran MBG untuk sasaran siswa. Menurutnya, asumsi MBG berjalan selama 360 hari dalam setahun adalah kekeliruan serius.

Bacaan Lainnya

“Berdasarkan hari efektif belajar, siswa hanya masuk sekolah sekitar 190 hari dalam setahun. Dengan jumlah penerima sekitar 55,28 juta siswa dan biaya Rp15.000 per anak per hari, kebutuhan anggaran MBG hanya sekitar Rp 157,55 triliun. Terdapat potensi kelebihan anggaran lebih dari Rp 66 triliun hanya dari sektor pendidikan. Ini belum termasuk anggaran untuk ibu hamil dan Balita,” seru Agus, dikutip dari detikcom, Senin (22/12/2025).

Persoalan menjadi semakin rumit ketika Badan Gizi Nasional (BGN) tetap berencana menyalurkan MBG selama libur sekolah. Skema yang ditawarkan pengambilan di sekolah, distribusi berkala dua mingguan, hingga pengantaran ke rumah.

“Mewajibkan anak datang ke sekolah saat libur hanya demi mengambil jatah MBG justru bertentangan dengan esensi liburan itu sendiri. Anak kehilangan waktu istirahat dan orang tua harus mengeluarkan biaya dan waktu tambahan untuk mengantar. Dari sisi ekonomi dan sosial, ini tidak rasional,” tegasnya.

Kritik juga diarahkan pada opsi pemberian makanan kering selama libur. Agus menilai, kebijakan ini berpotensi besar menimbulkan pemborosan. Bahkan menyimpang dari ide awal MBG sebagai penyedia makanan segar dan bergizi.

“Jika selama anak tidak sekolah MBG diberikan dalam bentuk makanan kering, maka esensi pemenuhan gizi harian yang terkontrol menjadi hilang,” katanya.

Di lapangan, kebingungan pun muncul. Beberapa sekolah tidak dapat menyalurkan MBG karena siswa tidak hadir. Akibatnya, muncul opsi penyaluran ke panti asuhan atau pihak lain. Skema yang hingga kini belum memiliki dasar kebijakan yang jelas dan transparan.

Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda menyebut, pembagian MBG saat libur sekolah tidak memiliki urgensi kebijakan. Menurutnya, masa libur seharusnya dimanfaatkan BGN untuk evaluasi menyeluruh.

“Publik berhak tahu apakah MBG benar-benar berdampak pada peningkatan gizi, kecerdasan dan kesehatan anak. Data itu yang seharusnya dibuka, bukan justru mengejar distribusi saat libur,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Charles Honoris mengingatkan, MBG tidak dipaksakan hanya demi mengejar serapan anggaran di akhir tahun.

“Kegiatan publik harus berorientasi pada manfaat nyata. Bukan justru sekadar menghabiskan anggaran,” katanya.

Sementara itu, Kapoksi Komisi IX DPR Fraksi PAN, Ashabul Kahfi menegaskan, jika MBG tetap berjalan saat libur, persetujuan orang tua harus menjadi syarat utama. Ia juga menekankan, pentingnya data penerima bersih da SOP distribusi khusus yang sederhana dan seragam.

Menanggapi kritik tersebut, BGN mengaku masih mengkaji berbagai opsi. Kepala BGN, Dadan Hindayana menyebut, kemungkinan pengantaran MBG ke rumah siswa selama dua pekan masa libur.

“Namun, skema ini masih dalam tahap perancangan dan pendataan oleh satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG). Selama masa kajian, kami berencana membagikan makanan kering seperti telur, susu, abon dan dendeng untuk maksimal empat hari pertama libur,” pungkasnya. (aan/mzm)

 

disclaimer

Pos terkait

iklan KKB Bank jatim