Jakarta, SERU.co.id – Presiden Prabowo Subianto berencana menjadikan Papua sebagai basis pengembangan komoditas pertanian penghasil bahan bakar nabati. Alih-alih mendapat sambutan luas, rencana penanaman kelapa sawit, tebu dan singkong di Tanah Papua justru memicu penolakan. Masyarakat adat, pegiat lingkungan, hingga legislator menilai kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis dan konflik sosial.
Prabowo menyampaikan, harapannya agar Papua ditanami kelapa sawit dan komoditas lain. Terutama untuk mendukung swasembada energi nasional.
“Langkah inj dapat memangkas impor BBM yang selama ini menelan anggaran hingga Rp520 triliun per tahun. Sekaligus mendorong kemandirian ekonomi daerah dalam lima tahun ke depan,” seru Prabowo.
Namun, Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah III Doberay menilai, rencana tersebut mengabaikan pengalaman pahit daerah lain di Indonesia. Sekretaris DAP Wilayah III Doberay, Zakarias Horota menegaskan, masyarakat adat Papua tidak ingin mewariskan bencana ekologis kepada generasi mendatang.
“Kami tidak mau mewarisi bencana alam bagi anak cucu kami. Kami belajar dari Sumatra dan Aceh. Dimana pembukaan lahan sawit puluhan tahun lalu berujung pada banjir dan kerusakan lingkungan,” ujar Horota, dikutip dari Kompascom, Kamis (25/12/2025).
Horota menilai, ekspansi perkebunan sawit baru hanya akan memperparah hilangnya hutan adat. Ia menegaskan, keuntungan terbesar dari proyek tersebut cenderung dinikmati investor. Sementara masyarakat adat kehilangan hak atas tanahnya dalam jangka panjang.
Kekhawatiran serupa disuarakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua. Direktur WALHI Papua, Maikel Peuki menilai, kebijakan swasembada energi yang bertumpu pada perkebunan monokultur skala besar berisiko memperkuat dominasi korporasi atas lahan adat Papua.
“Monokultur besar seperti sawit dan tebu justru mengancam keanekaragaman hayati. Bahkan ekosistem hutan dan ketahanan pangan tradisional masyarakat adat Papua,” kata Maikel.
WALHI menilai, rencana tersebut mengabaikan prinsip Otonomi Khusus Papua dan fakta tanah Papua bukanlah lahan kosong. Menurut Maikel, hingga kini belum ada pelibatan masyarakat adat secara bebas, didahului dan diinformasikan secara utuh.
“Kebijakan ini berpotensi memicu konflik agraria dan mempercepat kerusakan hutan. Bahkan menghancurkan sistem pangan lokal yang selama ini bergantung pada sagu dan hasil hutan,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman juga mengingatkan pemerintah agar tidak gegabah. Ia menilai, arahan Presiden harus dijalankan dengan perencanaan matang dan analisis dampak lingkungan yang ketat.
“Hutan harus bisa dimanfaatkan untuk kehidupan, tetapi juga harus dipastikan tidak menjadi sumber malapetaka. Kawasan hutan dengan fungsi serapan air tidak boleh dialihfungsikan. Tidak semua wilayah Papua layak dijadikan perkebunan sawit,” ungkap Alex, dilansir dari detikcom.
Penolakan berbagai pihak ini menunjukkan, wacana swasembada energi di Papua bukan sekadar persoalan ekonomi. Namun juga menyangkut keberlanjutan lingkungan, hak masyarakat adat dan masa depan ekosistem hutan tropis terakhir Indonesia. Tanpa pendekatan berbasis kearifan lokal dan perlindungan hak adat, kebijakan tersebut dinilai berisiko menimbulkan dampak jangka panjang yang sulit diperbaiki. (aan/mzm)








