Jakarta, SERU.co.id – KPK menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi dan suap izin pertambangan nikel yang menjerat mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman. Penghentian tersebut dilakukan setelah penyidik menilai tidak ditemukan kecukupan alat bukti meski perkara telah bergulir sejak 2017. Padahal, KPK menyatakan terdapat indikasi kerugian negara hingga Rp2,7 triliun dan dugaan penerimaan suap sebesar Rp13 miliar.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, membenarkan penerbitan SP3 tersebut. Ia menjelaskan, perkara yang telah bergulir sejak 2017 itu dinyatakan tidak memenuhi kecukupan alat bukti. Terutama setelah melalui proses penyidikan panjang.
“Benar, KPK telah menerbitkan SP3 dalam perkara tersebut. Dugaan korupsi ini terjadi pada 2009 dan telah ditangani sejak 2017. Namun penyidik tidak menemukan kecukupan bukti sehingga SP3 diterbitkan demi memberikan kepastian hukum,” seru Budi, dikutip dari CNN Indonesia, Jumat (26/12/2025).
Meski menghentikan penyidikan, KPK menegaskan tetap membuka peluang menindaklanjuti apabila ditemukan fakta atau bukti baru. KPK juga mengimbau, masyarakat yang memiliki informasi relevan agar menyampaikannya kepada penyidik.
“Kami terbuka apabila masyarakat memiliki kebaruan informasi. Terutama berkaitan dengan perkara ini untuk disampaikan kepada KPK,” ujarnya.
Kasus ini sebelumnya menjadi sorotan publik setelah KPK menetapkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka pada Oktober 2017. Ia diduga menyalahgunakan kewenangan dalam penerbitan izin pertambangan nikel di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Tidak tanggung-tanggung, menyebabkan kerugian negara hingga Rp2,7 triliun.
Saat itu, Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang menyebut, kerugian negara berasal dari penjualan hasil produksi nikel yang diduga diperoleh melalui perizinan yang melawan hukum.
Selain kerugian negara, Aswad juga diduga menerima suap sebesar Rp13 miliar dari sejumlah perusahaan tambang nikel selama periode 2007–2009. Dugaan suap tersebut berkaitan dengan penerbitan izin kuasa pertambangan dan izin usaha produksi.
Penghentian penyidikan oleh KPK menuai kritik dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Koordinator MAKI, Boyamin Saiman menyatakan, akan mengajukan gugatan praperadilan untuk mempertanyakan dasar hukum penerbitan SP3 tersebut.
“KPK harus menjelaskan dasar hukum SP3. Karena sebelumnya disampaikan sendiri oleh pimpinan KPK ada dugaan penerimaan Rp13 miliar dan sudah ada tersangkanya,” kata Boyamin.
MAKI juga mendesak, Kejaksaan Agung untuk turun tangan melakukan penyidikan baru atas dugaan korupsi perizinan tambang nikel tersebut. Menurut Boyamin, Kejaksaan Agung saat ini dinilai memiliki rekam jejak keberhasilan dalam menangani kasus korupsi sektor pertambangan.
“Kami mendorong Kejaksaan Agung mengambil alih dan membuka penyidikan baru agar perkara ini tidak berhenti begitu saja,” pungkasnya,dilansir dari Republika. (aan/mzm)








