Malang, SERU.co.id – Kota Malang meraih apresiasi dan penghargaan sebagai daerah yang memperhatikan ekosistem batik sebagai identitas budaya dan penggerak ekonomi kreatif. Namun, di balik penghargaan tersebut tersimpan cerita panjang tentang batik Malangan, termasuk tantangan regenerasi yang dihadapi para pembatik.
Pegiat Budaya sekaligus Owner Batik Aksara Malang, Zulfiqo Ilham Chudori mengungkapkan, batik di Malang Raya memiliki keunikan. Apabila berbicara batik Malangan sebagai batik tradisional atau ageman, yang dihasilkan turun temurun, tidak ditemukan catatan sejarahnya.
“Merujuk laporan dari koran-koran berbahasa Belanda sekitar tahun 1890 sampai 1940-an, tidak ditemui sentra pembatik yang bersifat komersil berskala besar. Dalam laporan tersebut, pengrajin batik Malangan umumnya hanya membuat batik tulis turun temurun yang dipergunakan keluarga dan diwariskan melalui pernikahan,” seru Viko, sapaannya, kepada wartawan SERU.co.id, Jumat (3/10/2025).
Ia menjelaskan, tradisi batik tulis ini dapat ditelusuri dalam budaya pernikahan Malangan sebagai bahan peningset. Adapun batik di Malang Raya saat ini merupakan batik generasi baru yang berkembang pesat sejak era 1990-an.
“Salah satu pelopor batik Malangan adalah batik Druju di Kabupaten Malang, berkiprah sejak tahun 1990-an. Sementara di Kota Malang ada Batik LKP Windya’s Club dan Batik Blimbing,” ungkapnya.
Menurut Viko, setiap pembatik Malangan mengembangkan ciri khas masing-nasing. Contohnya, batik Druju memiliki ciri khas berwarna gelap dan membuat motif batik setelah kain mori dijahit menjadi kemeja. Sedangkan batik Blimbing memunculkan motif khas dengan karakter gradasi warna.
“Setelah batik diakui UNESCO sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non Bendawi, pembatik di Malang Raya mulai bermunculan. Banyak pengrajin batik tulis yang berlomba-lomba menciptakan karakter, baik dari pewarnaan, teknik mencanting maupun pengaplikasian batik,” terangnya.
Meski batik Malangan terus berkembang dan pembatik bermunculan, bukan berarti nihil tantangan. Para pembatik Malangan menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari regenerasi hingga ketersediaan bahan baku.
“Pembatik di Malang Raya umumnya ibu-ibu paruh baya dengan motif ekonomi, baik sebagai pengrajin maupun penjual. Sedangkan, minat generasi muda terhadap pelestarian batik tulis masih kurang,” jelas pria yang berdomisili di Tlogomas itu.
Viko menyebut, masih banyak anggapan bahwa membatik itu rumit dan lama, serta upah yang diterima rendah. Hal tersebut menyebabkan sulitnya regenerasi, bahkan beberapa produksi batik tulis menjual produknya ke daerah lain, seperti Solo, Pekalongan dan lain-lain.
“Jumlah pembatik 150 orang selepas pandemi Covid-19. Trendnya selama 5 tahun terakhir, pengrajin batik di seluruh Indonesia turun. Salah satunya, karena perlambatan ekonomi saat pandemi dan selepas pandemi,” jelasnya.
Pembatik Malangan ini berharap, pemerintah mulai dari pusat hingga daerah semakin memperhatikan UMKM batik asli. Bentuk perhatian yang diharapkan, terutama terkait regulasi yang jelas soal perbatikan.
“Perlu ada regulasi yang jelas, sehingga ada pembeda tegas antara produk tekstil bermotif batik atau batik printing dengan batik asli. Pasalnya, realita di lapangan semakin banyak pengrajin beralih ke Batik printing akibat menurunnya daya beli juga kurangnya apresiasi terhadap pengrajin batik tulis,” tuturnya.
Senada, Direktur Soendari Batik, Satria Paramandana menerangkan, regenerasi dan minat terhadap batik menjadi tantangan serius. Usaha yang dirintis sang ibu dilandasi kesadaran, setelah usaha batik sang buyut berhenti sekian lama.
“Biasanya, tidak semua anak cucunya meneruskan menjadi pembatik. Di era nenek saya sempat terhenti, karena beliau mengikuti kakek saya dan memiliki kesibukan lain,” kata Satria.
Dalam sebulan, Soendari Batik lebih banyak menerima keuntungan dari program kunjungan dan kelas membatik dibanding aspek penjualan. Maka, pihaknya lebih banyak berfokus pada penyediaan program magang, edukasi hingga pelatihan membatik.
“Kami sadar, Kota Malang bukan daerah yang identik dengan batik. Maka kami berupaya memberikan edukas, supaya masyarakat mengenal dan mencintai batik. Yang paling penting, hargai para pembatik dengan mengenakan batik asli yang dihasilkan dengan proses membatik,” pungkasnya. (bas/rhd)