Malang, SERU.co.id – Pengibaran bendera ‘One Piece’ di berbagai daerah menuai kontroversi dan dianggap sebagai wujud ketidakpuasan terhadap pemerintah. Menanggapi fenomena tersebut, Pakar Hukum UMM mengingatkan adanya bahaya reduksi terhadap makna mendalam dari simbol negara.
Pakar Hukum UMM, Prof Dr Sidik Sunaryo MSi MHum mengungkapkan, Sang Saka Merah Putih bukan sekadar bendera biasa, melainkan simbol kedaulatan. Oleh karena itu, kehormatan bangsa harus dijaga marwahnya.
“Bendera merah putih itu lambang negara yang punya nilai historis dan martabat. Simbol ini tidak boleh direduksi maknanya oleh tindakan yang sembrono,” seru Sidik, Rabu (6/8/2025).
Ia menjelaskan, organisasi sah seperti perguruan, ormas, hingga partai politik memang diperbolehkan memiliki bendera sendiri. Namun, penggunaannya tetap harus mematuhi aturan yang berlaku, termasuk dalam hal penempatan.
“Misalnya, tidak boleh dikibarkan lebih tinggi dari bendera merah putih, tidak satu tiang dan posisi bendera negara harus tetap di tempat terhormat. Saat wisuda di UMM, bendera kampus bisa dikibarkan bersamaan, tapi merah putih harus berada di kanan podium dan tidak boleh diapit,” jelasnya.
Yang menjadi masalah, jika bendera seperti One Piece dikibarkan tanpa identitas organisasi yang jelas. Apalagi jika diletakkan dalam posisi sejajar atau satu tiang dengan Sang Saka, meskipun di bawahnya.
“Tindakan semacam ini bisa merendahkan nilai simbolik dari bendera negara. Pertanyaannya, One Piece itu mewakili siapa? Kalau hanya sekadar karya fiksi, ia tidak punya entitas hukum di Indonesia,” tegasnya.
Prof Sidik juga merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang melarang penyalahgunaan simbol negara. Pelanggaran terhadap ketentuan ini bisa dikenai sanksi pidana hingga lima tahun penjara atau denda maksimal Rp500 juta.
“Kalau katanya simbol damai, ya kan sudah ada Merah Putih yang bisa mewakili nilai perdamaian. Maka motif pengibarannya harus dikaji lebih jauh,” ungkapnya.
Kendati demikian, Pakar Hukum UMM ini mengingatkan, agar penanganan kasus ini tidak serta-merta dilakukan dengan pendekatan hukum. Menurutnya, jika motifnya sekadar ekspresi tanpa niat buruk, harus mengutamakan pendekatan edukatif dan sosial.
“Kalau memang hanya ingin didengar atau cari perhatian, bukan berarti langsung harus diproses hukum. Pendekatan sosial bisa jadi solusi yang lebih tepat,” ujarnya.
Ia menekankan, penegakan hukum tetap harus memperhatikan prinsip demokrasi dan kebebasan berekspresi. Namun kebebasan itu ada batasnya, terutama jika menyangkut simbol negara.
“Simbol negara seperti bendera merah putih itu bukan main-main. Ketika penggunaannya mulai sembarangan, negara harus hadir,” tuturnya.
Terakhir, Prof Sidik mengingatkan, pengibaran bendera organisasi tetap harus dilakukan secara legal. Pengibarannya tidak boleh merusak makna serta kehormatan simbol negara.
“Kalau pengibaran itu menimbulkan kericuhan nyata, tentu harus ditindak. Tapi kalau hanya ramai di dunia maya, tak perlu dibesar-besarkan,” tutupnya. (bas/rhd)