Malang, SERU.co.id – Presiden RI Prabowo Subianto telah melantik Komisi Percepatan Reformasi Polri untuk mengkaji masalah kepolisian. Menanggapi hal itu, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengingatkan tim reformasi Polri untuk menyentuh akar masalah pada korupsi dan pengawasan.
Komisioner Kompolnas, Muhammad Choirul Anam mengungkapkan, tim reformasi Polri harus berfokus pada penyusunan kebijakan strategis, bukan penanganan kasus. Ia menilai, mekanisme penanganan kasus sudah berjalan melalui Propam, termasuk kanal pengaduan langsung ke Propam pusat yang kini telah diperkuat.
“Kalau ikut menangani kasus, waktunya akan habis. Yang jauh lebih penting adalah merumuskan kebijakan yang menyelesaikan persoalan mendasar, seperti budaya koruptif atau sistem promosi jabatan. Polisi yang baik harus mendapatkan posisi yang layak, sementara polisi yang nakal harus dicopot bahkan dipecat,” seru Anam, saat kunjungan kerja di Kota Malang, Jumat (14/11/2025).
Anam menilai, penguatan pengawasan juga merupakan kebutuhan mendesak. Ia mencontohkan, proses penanganan pelanggaran oleh anggota Polri sering lambat, padahal masyarakat membutuhkan respons cepat.
“Diperlukan kebijakan-kebijakan strategis terkait penguatan pengawasan, baik pengawasan oleh Kompolnas maupun oleh internal Polri. Pengawasan kedua pihak sangat penting untuk meningkatkan profesionalitas dan efek jera terhadap pelanggaran hukum oleh anggota Polri,” tegasnya.
Ia mencontohkan, penguatan pengawasan yang diperlukan Kompolnas, seperti kewenangan memberikan rekomendasi pemecatan. Hal tersebut dinilai penting, sebagaimana peran Kompolnas dalam hal pengawasan fungsional terhadap kinerja Polri.
“Pengawasan oleh Kompolnas misalnya, boleh tidak kami merekomendasikan pemecatan, sehingga membawa efek jera bagi polisi yang nakal. Termasuk boleh tidak Kompolnas menentukan suatu hal salah dan benar dalam konteks merekomendasikan untuk pidana, sehingga kami bisa menjawab pengaduan masyarakat,” ungkapnya.
Anam menerangkan, pihaknya juga menerima laporan masyarakat terkait pemerasan oleh anggota kepolisian. Penyelesaian masalah tersebut secara cepat perlu penguatan pengawasan Kompolnas dan pengawasan internal Polri melalui kebijakan yang tegas.
“Pemerasan itu bukan hanya pelanggaran etik, tapi juga pidana. Jangan sampai etiknya dulu, pidananya lama. Propam bisa langsung menyelidiki tanpa tektokan dengan Reskrim, karena nanti kan tetap diuji oleh jaksa dan pengadilan,” jelasnya.
Terkait tidak dilibatkannya Kompolnas dalam tim reformasi Polri, Anam menyebut hal itu justru baik. Menurutnya, Kompolnas dapat menjadi objek evaluasi untuk menyempurnakan sistem pengawasan ke depan.
“Kami justru berharap, Kompolnas menjadi salah satu yang dinilai efektivitasnya. Karena sejak awal, desain Kompolnas sebenarnya tidak memungkinkan bekerja lebih maksimal dan independen. Kalau keanggotaan Kompolnas dibebaskan dari unsur ex officio pemerintah, itu akan lebih baik bagi profesionalitas kepolisian dan bagi masyarakat yang berharap keadilan,” terangnya.
Terakhir, ia menyoroti pentingnya batas waktu kerja tim reformasi Polri. Menurutnya, apabila tim tersebut menjadi struktur permanen, berpotensi tumpang tindih dengan tugas Kompolnas sebagai lembaga pengawas kepolisian sebagaimana diatur undang-undang.
“Kalau tim ini menjadi permanen, apa bedanya dengan Kompolnas? Lebih baik tim fokus pada rekomendasi kebijakan strategis, termasuk penguatan mekanisme pengawasan, baik di internal kepolisian maupun oleh Kompolnas,” tandasnya. (bas/rhd)








