Jakarta, SERU.co.id – KPK menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi dan suap izin pertambangan nikel di Konawe Utara. KPK beralasan tidak menemukan kecukupan alat bukti dan menilai perkara tersebut telah kedaluwarsa. Hal ini membuat mantan penyidik dan aktivis antikorupsi mempertanyakan komitmen KPK dalam pemberantasan korupsi di sektor tambang.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo menjelaskan, penghentian penyidikan dilakukan untuk memberikan kepastian hukum karena penyidik tidak menemukan kecukupan alat bukti. Selain itu, perkara dugaan suap dinyatakan telah melewati masa kedaluwarsa.
“Penerbitan SP3 sudah tepat karena tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti dalam proses penyidikan. Khususnya terkait Pasal 2 dan Pasal 3 yang terkendala pada penghitungan kerugian keuangan negara,” seru Budi, dikutip dari detikcom, Minggu (28/12/2025).
Ia menambahkan, perkara tersebut memiliki tempus yang sangat lama, yakni sejak 2009. Menurutnya, keputusan penghentian penyidikan juga sejalan dengan prinsip pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Prinsip tersebut mencakup kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, proporsionalitas, kepentingan umum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
“KPK harus memastikan setiap proses penegakan hukum berjalan sesuai norma dan asas hukum yang berlaku,” katanya.
Meski demikian, keputusan KPK tersebut menuai kritik dari sejumlah pihak. Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap mengaku, heran atas langkah penghentian penyidikan kasus tambang yang disebutnya bernilai fantastis.
“Ini benar-benar aneh. Tiba-tiba KPK mengeluarkan SP3. Padahal kerugian negara ditaksir Rp 2,7 triliun. Seharusnya kasus ini dibongkar sampai tuntas, bukan dihentikan,” kata Yudi.
Yudi menilai, KPK seharusnya membawa perkara tersebut ke pengadilan untuk menguji kekuatan alat bukti. Bukan menghentikannya di tahap penyidikan. Ia juga meragukan alasan kurangnya alat bukti yang disampaikan KPK.
Senada, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman menyayangkan keputusan KPK tersebut. Ia mengingatkan, KPK sebelumnya telah mengumumkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka dan bahkan sempat berencana melakukan penahanan. Namun, rencana tersebut batal karena alasan kesehatan.
“Saya menyesalkan penyetopan ini. Dulu tersangkanya sudah diumumkan, bahkan diduga menerima suap. Ketika mau ditahan, mengaku sakit, tapi setelah itu bisa ikut kampanye dan membeli mobil baru,” ujar Boyamin.
Ia menilai, penerbitan SP3 tanpa penjelasan rinci berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap KPK. Boyamin juga mendesak, lembaga antirasuah tersebut untuk membuka secara transparan alasan penghentian penyidikan dan pihak-pihak yang telah diperiksa.
Kasus ini sebelumnya menjadi sorotan publik setelah KPK menetapkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka pada Oktober 2017. Ia diduga menyalahgunakan kewenangan dalam penerbitan izin pertambangan nikel di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Tidak tanggung-tanggung, menyebabkan kerugian negara hingga Rp2,7 triliun.
Saat itu, Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang menyebut, kerugian negara berasal dari penjualan hasil produksi nikel yang diduga diperoleh melalui perizinan yang melawan hukum.
Selain kerugian negara, Aswad juga diduga menerima suap sebesar Rp13 miliar dari sejumlah perusahaan tambang nikel selama periode 2007–2009. Dugaan suap tersebut berkaitan dengan penerbitan izin kuasa pertambangan dan izin usaha produksi. (aan/mzm)








