Blitar, SERU – Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya. Namun tidak demikian dengan pahlawan penemu ikan Mujair atau akrab disapa Mbah Moedjair, pria asal Blitar yang kini kondisi makamnya di Desa Papungan kurang terawat.

Diriwayatkan, Mbah Moedjair lahir tahun 1890 di Desa Kuningan, 3 kilometer arah timur pusat Kota Blitar, dari pasangan Bayan Isman dan Rubiyah. Awal mula Mbah Moedjair berhasil mengembangbiakkan ikan ini cukuplah rumit. Beliau harus bolak-balik Papungan-Serang yang berjarak 35 kilometer.

”Mbah Moedjair ke Serang mlaku (jalan kaki, red) dengan membawa gentong yang dipikul. Beliau melakukan percobaan dengan mencampurkan air tawar diberi uyah (garam), hingga berhasil hidup sepasang ikan Mujair,” tutur Sri Supadmi (81 tahun), salah satu cucu dari Mbah Moedjair.
Atas jasanya, beliau memperoleh penghargaan Executive Committee dari Indo Pasific Fisheries Council. Selain itu, masih ada penghargaan dari Kementerian Pertanian pada tanggal 17 Agustus 1951 saat dijabat oleh Ir Soewarto. “Beliau diangkat PNS sebagai mantri perikanan, mendapatkan gaji bulanan dan mendapatkan pensiun,” imbuhnya.

Beliau wafat tanggal 7 September 1957, karena penyakit asma dan dimakamkan di pemakaman umum Desa Papungan. Kini 62 tahun berselang, kondisi makam Mbah Moedjair cukup memprihatinkan butuh perbaikan disana-sini. Kondisi ini tentunya bertolak belakang bahwa Mbah Moedjair merupakan tokoh besar, tak hanya di republik ini, bahkan dikenal juga sampai mancanegara.
