Jakarta, SERU.co.id – Ledakan di SMA Negeri 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara, membuka babak baru ancaman kekerasan di dunia pendidikan Indonesia. Peristiwa ini telah melukai puluhan orang dan memunculkan trauma fisik. Kasus ini menjadi alarm keras meningkatnya potensi ekstremisme dan kekerasan di kalangan remaja Indonesia.
Juru Bicara Densus 88 Antiteror Polri, AKBP Mayndra Eka Wardhana mengungkapkan, terduga pelaku membawa tujuh peledak. Empat di antaranya meledak di dua lokasi berbeda.
“Benar bahwa ditemukan tujuh peledak. Dua meledak di masjid, dua lainnya di area taman baca dan bank sampah. Sementara tiga belum sempat meledak,” seru Mayndra, dikutip dari Kompascom, Senin (10/11/2025).
Akibat ledakan tersebut, sebanyak 49 orang sempat menjalani perawatan di RS Islam Cempaka Putih, dengan 13 korban masih dirawat hingga kini. Direktur RS, Pradono Hangdojo menyebut, sebagian besar korban mengalami trauma pendengaran serius.
“Ada yang gendang telinganya robek total. Tapi kondisi mereka berangsur pulih,” ujarnya.
Pemerintah merespons cepat. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, langsung menjenguk para korban. Ia menegaskan, Kementerian akan memberikan dukungan psikososial berkelanjutan bagi murid, guru dan seluruh warga sekolah.
“Ini bukan sekadar tanggap darurat, tapi pemulihan jangka panjang. Baik fisik dan mental,” katanya, dilansir dari website Panrb.
Namun, di balik upaya pemulihan itu, muncul keprihatinan lebih mendalam dari para pengamat. Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan menilai, kasus ini menandakan potensi paparan ideologi kekerasan pada kalangan muda.
“Tragedi SMAN 72 mesti dilihat sebagai alarm serius bahwa ekstremisme di usia dini masih nyata,” ujarnya.
Halili menyoroti, munculnya simbol-simbol ekstremis dalam peristiwa tersebut. Seperti tulisan “Welcome to Hell” dan “For Agartha”.
“Ini bukan sekadar ekspresi personal. Ini mengindikasikan keterpaparan terhadap ideologi kekerasan. Bukan kasus kriminal biasa,” tegasnya.
Data survei SETARA Institute tahun 2023 menunjukkan, 0,6 persen remaja Indonesia sudah terpapar ideologi ekstremisme. Sementara lima persen tergolong intoleran aktif. Meski angka ini tampak kecil, tren peningkatannya signifikan dibandingkan 2016.
“Pemerintah harus menempatkan pencegahan ekstremisme sebagai prioritas nasional,” tegas Halili.
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung mengingatkan, pentingnya menutup celah kekerasan di lingkungan sekolah. Ia menilai, bullying dapat menjadi pemicu awal tragedi.
“Perundungan tidak boleh terulang kembali. Bisa jadi motivasi di balik tindakan ekstrem seperti ini,” pungkasnya. (aan/mzm)








