Surabaya, SERU.co.id — Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur, Yordan M. Batara-Goa, S.T., M.Si menggelar kegiatan Sosialisasi Penguatan Toleransi dan Solidaritas Kehidupan Bermasyarakat Sesuai Pancasila. Acara yang mengusung tema “Toleransi dan Keberagaman” ini dihadiri ratusan undangan dari berbagai elemen masyarakat, tokoh pemuda, akademisi, dan organisasi kemasyarakatan.
Pada sambutannya, Anggota DPRD Jawa Timur, Yordan M Batara Goa, menyoroti temuan survei terbaru yang mengungkap tingginya potensi radikalisme di kalangan mahasiswa, pelajar, hingga pegawai negeri dan swasta. Data dari Alvara Research Center dan Mata Air Foundation menunjukkan bahwa 23,4% mahasiswa dan 23,3% pelajar SMA setuju dengan jihad untuk menegakkan negara Islam atau khilafah.
“Hal ini harus menjadi perhatian serius semua pihak, terutama dunia pendidikan. Jangan sampai paham radikal menyusup ke kampus dan sekolah,” tegas Yordan, Selasa.
Tidak hanya di kalangan pelajar dan mahasiswa, survei juga mengungkap sikap kritis terhadap Pancasila di kalangan pekerja. Sebanyak 18,1% pegawai swasta, 19,4% PNS, dan 9,1% pegawai BUMN menyatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila.
“Jika aparatur negara saja mulai mempertanyakan dasar negara, ini situasi yang sangat mengkhawatirkan. Kita perlu penguatan ideologi secara sistematis dan berkelanjutan,” tambahnya.
Meski demikian, hasil survei lain pada 2016 menunjukkan bahwa mayoritas Muslim Indonesia (72%) menolak tindakan radikal. Hanya 7,7% yang bersedia melakukan tindakan radikal bila ada kesempatan, dan 0,4% yang pernah melakukannya.
Yordan mengingatkan, meski angka yang bersikap radikal terlihat kecil, dalam proyeksi jumlah penduduk, 7,7% setara dengan sekitar 11 juta Muslim Indonesia, dan 0,4% setara dengan 600 ribu orang.
“Kita tidak boleh lengah. Yang sedikit ini pun punya potensi besar mengganggu stabilitas nasional jika dibiarkan,” punggasnya.
Pencegahan radikalisme, menurut Yordan, harus melibatkan seluruh elemen masyarakat, mulai dari keluarga, sekolah, kampus, hingga tempat kerja, dengan pendekatan yang humanis dan dialogis.
Yordan M Batara Goa, juga menyampaikan pentingnya penerapan moderasi beragama sebagai kerangka dalam mengelola kehidupan beragama di masyarakat yang plural dan multikultural, terutama di kalangan generasi milenial dan pengguna media digital.
Menurutnya, moderasi beragama diperlukan untuk mencegah munculnya eksklusivisme, ekstremisme, hingga terorisme. Ia menegaskan bahwa moderasi beragama tidak berarti mengorbankan keyakinan atau prinsip ajaran pokok agama, melainkan sebagai upaya menciptakan harmoni dalam perbedaan.
Data dari Setara Institute pada tahun 2020 mengungkapkan masih tingginya pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) di Indonesia, dengan 180 peristiwa dan 422 tindakan. Sebanyak 23 di antaranya terjadi di Jawa Timur. Dari jumlah tersebut, 238 tindakan dilakukan oleh aktor negara dan 184 oleh aktor non-negara.
Selain itu, survei SMRC pada 4 Juni 2017 menunjukkan bahwa 9,2% masyarakat Indonesia setuju untuk mengganti NKRI dengan model negara lain. Angka ini setara dengan sekitar 20 juta penduduk.
Survei lain dari Yayasan Denny JA dan Lingkaran Survei Indonesia Community (21/10/2012) juga mengungkap bahwa lebih dari 60% publik Indonesia merasa tidak nyaman dengan orang yang berbeda keyakinan. Sebanyak 67,8% bahkan mengaku tidak suka bertetangga dengan penganut agama lain.
Menanggapi kondisi tersebut, Yordan M Batara Goa mengajukan sejumlah alternatif kegiatan untuk memperkuat moderasi beragama, di antaranya:
1. Kunjungan ke rumah ibadah agama/keyakinan lain
2. Kunjungan ke sekolah agama/keyakinan lain
3. Kegiatan pelajar lintas iman, seperti kemah, LDKS, penelitian bersama, dan seni budaya lintas agama.
“Melalui langkah-langkah nyata ini, diharapkan tercipta pemahaman dan toleransi yang lebih baik antarmasyarakat, serta memperkuat persatuan bangsa,” ujarnya.
Menyikapi temuan survei tentang potensi radikalisme di kalangan muda dan aparatur negara, Anggota DPRD Jawa Timur, Yordan M Batara Goa, mengajak semua pihak untuk merenungkan kembali makna mendalam dari Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Yordan mengutip pidato historis Bung Karno pada 1 Juni 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia merdeka haruslah berdasar prinsip Ketuhanan.
“Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan. Tuhannya sendiri… Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang bertuhan,” ujar Yordan membacakan kutipan pidato tersebut, Selasa.
Lebih lanjut, Yordan juga menyampaikan pesan Bung Karno bahwa konsep “Bertuhan” yang dimaksud oleh para pendiri bangsa adalah dalam kerangka kebudayaan dan peradaban yang luhur.
“Bukan sekadar ritual, tetapi bagaimana kita hidup secara berkeadaban. Sebagaimana diuraikan Bung Karno, ‘Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa’. Yang Kristen menurut Isa Almasih, yang Islam menurut Nabi Muhammad, yang Buddha menurut kitabnya. Inilah esensi kebebasan beragama yang bertanggung jawab,” paparnya.
Yordan menjelaskan, fondasi dari semua ini adalah semangat hormat-menghormati.
“Inti dari Ketuhanan yang Berkebudayaan, seperti yang ditegaskan dalam pidato itu, adalah ‘hormat-menghormati satu sama lain’. Ini adalah penangkal paling ampuh terhadap egoisme-agama dan paham radikal yang ingin memonopoli kebenaran,” tegasnya.
Melihat data survei yang menunjukkan adanya ketidaksetujuan terhadap Pancasila di kalangan pegawai dan dukungan terhadap jihad untuk khilafah di kalangan pelajar, Yordan menilai hal ini terjadi karena pemahaman yang dangkal terhadap nilai-nilai dasar negara.
“Pancasila, khususnya Sila Ketuhanan, justru memberikan ruang yang luas bagi setiap umat beragama untuk menjalankan keyakinannya secara leluasa, namun dalam bingkai persatuan dan saling menghormati. Ini yang harus kita gaungkan kembali, terutama kepada generasi muda,” pungkas Yordan.
Ia berharap, dengan memahami warisan pemikiran para pendiri bangsa secara utuh, masyarakat dapat membentengi diri dari paham-paham yang bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika dan dasar negara. (arc/ono)