Jakarta, SERU.co.id – Lima anggota DPR RI menuai sorotan setelah dinonaktifkan oleh partainya masing-masing. Namun, status nonaktif menimbulkan tanda tanya besar karena kelimanya masih menerima gaji. Peneliti Formappi menegaskan partai-partai tersebut sebenarnya hanya sekadar mencari jalan aman.
Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah menegaskan, tidak ada istilah nonaktif dalam aturan perundang-undangan. Kelimanya masih menerima gaji sebagai anggota dewan.
“Baik Tatib maupun Undang-Undang MD3 memang tidak mengenal istilah nonaktif. Namun, saya menghormati keputusan NasDem, PAN dan Golkar. Pertanyaan soal itu sebaiknya ditujukan ke partai masing-masing,” seru Said, Senin (1/9/2025).
Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, Nazaruddin Dek Gam, justru memiliki pandangan berbeda. Ia menyebut, status nonaktif bukan sekadar simbolik, melainkan menutup akses anggota DPR terhadap seluruh fasilitas dan tunjangan.
“Kalau sudah dinonaktifkan, artinya mereka tidak bisa lagi beraktivitas sebagai anggota DPR. Otomatis fasilitas dan tunjangan juga tidak bisa dinikmati,” ujarnya.
Menurut Nazaruddin, MKD mendorong ketua umum partai politik untuk bersikap tegas. Agar integritas DPR tidak semakin runtuh di mata publik.
“Kalau tidak ada langkah nyata, masyarakat akan menilai DPR sebagai lembaga yang tidak serius menjaga kehormatannya,” tegasnya.
Namun, langkah Parpol tersebut dinilai masih setengah hati. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Luciutegasny menilai, nonaktif hanya siasat politik untuk meredam kemarahan publik sementara waktu.
“Mereka hanya disembunyikan, tidak benar-benar diberi sanksi. Dalam UU MD3 tidak ada istilah nonaktif. Jadi sebenarnya, mereka bisa tetap menerima gaji meski tidak bekerja,” jelas Lucius.
Ia menilai, partai-partai tersebut sekadar mencari jalan aman. Agar terlihat cepat merespons tuntutan masyarakat tanpa benar-benar memberikan hukuman.
“Tidak terlihat ada sanksi nyata. Publik menuntut pertanggungjawaban, tapi yang dilakukan partai hanya membuat para kadernya ‘tiarap’ sejenak,” ujarnya.
Lucius menekankan, jika benar-benar mendengar suara rakyat, partai politik seharusnya tidak sekadar menonaktifkan. Melainkan mencopot mandat kadernya dari kursi DPR.
“Pemberhentian permanen akan menjadi pesan tegas bahwa partai politik menghormati penolakan publik. Itu artinya partai mengakui bahwa kadernya sudah tidak pantas lagi dipercaya mewakili rakyat,” tandasnya.
Kelima amggota DPR yang dinonaktifkan yakni Sahroni dan Nafa Urbach dari Partai Nasdem. Kemudian Eko Patrio dan Uya Kuya dinonaktifkan PAN serta Adies Kadir dinonaktifkan Golkar. (aan/mzm)