Tukirin menjelaskan bagaimana dirinya dan para petani lain mengolah limbah kandang mereka sulap menjadi pupuk organik. Pertama pupuk kandang dicampur dengan kapur yang sudah mati, kemudian diberi air kelapa dan juga tetes tebu. Setelah lengkap semua dicampur dan diaduk setelah dirasa tercampur kemudian ditempatkan di wadah dan tutup dengan rapat menunggu proses fermentasi hingga 2 minggu.
“Setelah 2 minggu, setelah itu baru diaplikasikan, dicampur ke tanah dulu yang mau ditanami ke dasar. Kalau udah tumbuh sekian (10 centimeter) masih dikasih pupuk kimia sedikit 50 persen, itu biar pertumbuhannya stabil lagi. Kalau langsung enol persen tidak bisa, hasilnya minim sekali,” terangnya dengan telaten.
Meskipun membantu, namun hasil yang didapatkan masih berbeda jauh jika menggunakan pupuk kimia seutuhnya. Selain ukuran, warna dan juga lama tanam juga ikut terpengaruh, terutama harga juga ikut naik.
“Jualnya ya otomatis juga naik, gak bisa lebih kalau dikurskan sama kenaikan dengan kenaikan harga pupuk, itu tidak bisa menutupi. Kalau dulu itu 1 kg itu Rp4 ribu sekarang jadi Rp6 ribu,” terangnya.
Dirinya berharap, agar pencabutan pupuk kimia subsidi pada holtikultura dibatalkan dan subsidi itu tetap ada. (ws6/ono)