Pengrajin Sanankerto Manfaatkan Limbah Akar Bambu Jadi Patung

potret totok sedang memahat salah satu karya seninya. ist
potret totok sedang memahat salah satu karya seninya. ist

Malang, SERU.co.id – Di tangan Totok Setiawan Putranto (34), warga Desa Sanankerto, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang limbah akar bambu diubah jadi karya seni yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Limbah tersebut selama ini hanya dimanfaatkan untuk kayu bakar

Pengrajin patung dan pahat akar bambu berambut gondrong itu mengaku, dirinya sudah mulai memahat sejak tahun 2010 lalu. Namun mengingat desanya dikenal sebagai kawasan dengan ikon bambu, dari sanalah ia berpaling untuk menggunakan akar bambu sebagai bahan dasar.

Bacaan Lainnya

“Di sinikan ikonya bambu, karena sudah dikenal desa wisata Boon Pring, sudah dikenal bambunya. Saya mulai mengelola limbah bambu, jadi saya apa ya?. Ya di sisni juga banyak bahan dasar bambu juga, dari situ saya berfikir akar bambu ini bisa  untuk dikembangkan,” seru Totok saat ditemui di rumahnya.

 Dirinya menjelaskan, penggunaan limbah itu dimulai sejak 2014 lalu dengan kemampuan yang diperoleh secara otodidak.

Upayah ini merupakan keinginanya untuk ikut serta mengharumkan daerah tempat tinggalnya salah satunya dengan karya.

 “Saya juga ingin ikut meningkatkan nama, menyumbang dengan kreatifitaskan saya, kalau saya khususnya untuk ukiran,” terangnya.

 Kebanyakan karya dari keterampilan tangannya itu diminati para kolektor. Tak jarang para pejabat yang kepincut saat dipajang saat pameran akhirnya berkeputusan membeli. Bahkan, patung pahatannya juga diminati beberapa turis dari berbagai negara.

Dia mengatakan, untuk mengasah kemampuanya itu, Totok terus mengintrospeksi kesalahan pada setiap penggarapan.

“Jadi saya belajar sendiri, jadi belajar saya itu dari kesalahan saya sendiri, sampai saya itu bisa,” aku Totok.

Selain menyalurkan hobi, mengharumkan nama desanya, kegiatan yang sudah digeluti sejak 12 tahun terakhir itu juga menghasilkan pundi-pundi rupiah. Dalam satu karya seni sederhana dapat dibanderol mulai Rp30 ribu.

“Kalau harga termurah, saya bikin asbak itu Rp30 ribu, itu dari akar bambu. Kalau yang karya-karya itu dari Rp500-1.500 ribu,” jelasnya.

Seniman yang sudah mulai memahat sebelum ada wisata Boon pring, itu berdiri seperti sekarang, mengaku perjuangannya memulai untuk menghasilkan karya sangatlah sulit. Salah satunya dengan belum adanya dukungan dari masyarakat , yang masih menganggap hal tersebut adalah ativitas yang percuma.

“Kalau dulu, sebelum ada Boon Pring, saya sudah mahat. Dulu itu, kaya hal yang aneh disini bikin karya itu. Kaya orang-orang pandanganya kan, buat apa itu,” ucapnya.

Kendati demikinan, hal tersebut tidak melunturkan semangatnya, justru membuat dirinya lebih semangat.

Untuk waktu penggarapannya sendiri, untuk setiap unit karta, Totok mengaku tidak bisa memastikan. Hal itu tergantung dari kerumitan, ide, juga moodnya. Karena, di setiap karya seni itu ada artinya.

Totok juga memiliki keinginan agar dari kegiatanya memahat itu bisa membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat di sekitarnya.

“Jadi saya ingin menciptakan lapangan pekerjaan yang baru, sebenarnya ada impian kesitu. Tapi masih belum ada sebuah karya yang bisa dikerjakan komersil,” tutupnya. (ws6/ono)

disclaimer

Pos terkait