KENAIKAN iuran BPJS hingga dua kali lipat dapat dikatakan sebagaiĀ kado yang kurang simpatik bagi masyarakat. Pemerintah berancana menaikan iuran BPJS, sebelumnya Menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati telah membahas masalah defisit serta kenaikan iuran BPJS dalam rapat pada Senin (2/9/2019).
Hasilnya bahwa pemerintah akan menaikan iuran BPJS hingga dua kali lipat dikarenakan defisit dikeuangan BPJS dari tahun lalu sekitar Rp 9,1 trilliun dan diperkirakan akan naik menjadi Rp 19 trilliun ditahun ini. Peserta JKN kelas I akan membayar iuran sebesar Rp 160.000 dari sebelumnya Rp 80.000 per bulan , kemudian untuk peserta JKN kelas II yang tadinya hanya membayar Rp 51.000 per bulan harus membayar sebesar Rp 110.000. Sementara untuk peserta JKN kelas III harus menaikkan iuran bulanannya menjadi Rp 42.000 dari yang sebelumnya Rp 25.500.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, seharusnya kenaikan iuran untuk peserta mandiri tidak serta merta dilakukan. Pemerintah perlu untuk melakukan pengkajian terlebih dahulu kepada publik. Selain itu, pemerintah harus memperhatikan daya beli masyarakat dalam menentukan iuran terutama kepada peserta mandiri.
“Kalau kenaikannya makin tinggi maka tingkat utang iuran akan meningkat dan ini akan menjadi tidak produktif,” ujar dia.
Kenaikan iuran BPJS ini tidak otomatis menyelesaikan defisit karena defisit juga dikontribusi oleh kegagalan mengendalikan biaya dan pengelolaan terhadap fasilitas kesehatan (faskes) yang kurang maksimal.
Menanggapi masalah ini sebagian besar masyarakat mengaku keberatan karena harus menanggung biaya menjadi berlipat ganda. Anggi M (32 tahun), misalnya. Ia memprotes kenaikan dua kali lipat karena beban bayarnya setiap bulan menjadi semakinĀ berat. Ia bercerita menanggung iuran untuk tiga kepala. Sejak mendaftar hingga kini, ia selalu rajin membayar dan belum pernah menggunakan manfaat layanan kesehatan, baik rawat inap maupun rawat jalan.
“Bayangkan, saya bayar jadi Rp 480 ribu per bulan, saya dan orang tua tidak pernah pakai. Ya, kalau nunggak jangan salahkan saya sebagai masyarakat,” ujarnya.
Dewi retno (36 tahun) lain cerita lagi, ibu rumah tangga ini mengaku harus menyisihkan uang bulanannya untuk membayar kepesertaan suami dan dua anaknya. Jika memutuskan untuk berhenti dari kepesertaan BPJS kesehatan ia mengaku hal yang mustahil, mengingat keluarganya sangat meembutuhkan.
“Suami dan anak ikut kelas II. Selama ini bayar sekitar Rp 150 ribu. Nah, kalau naik dua kali lipat, berarti bayar Rp 300 dong. Ya beratĀ lah. Kalau naiknya per peserta jadi Rp70 ribu masih oke, tapi jangan langsung dua kali lipat begini.”
Apakah pemerintah tidak mengkaji terlebih dahulu dalam menentukan besaran kenaikan iuran BPJS ini. Sungguh kenaikan iuran BPJS ini adalah momok yang menakutkan dan kado yang kurang simpatik bagi masyarakat.
Sudah semestinya pemerintah harus bersikap adil dan lebih bijak lagi. Apakah dengan menaikan iuran BPJS hingga dua kali lipat dapat mengatasi defisit keungan yang dialami BPJS, sementara daya beli masyarakat yang rendah. Kebijakan ini hanya akan membuat defisit semakin membesar, penunggakan akan terus bertambah dan membuat kondisi semakin tidak produktif. (*)