Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya disahkan. Tujuh fraksi menerima tanpa catatan, dua fraksi tidak setuju, dan satu fraksi belum memberikan pendapat. Dengan komposisi seperti itu, rapat paripurna ketok palu. Maka berubahlah RUU itu menjadi UU.
Kini, setelah RUU itu resmi menjadi UU, agenda pemberantasan korupsi memasuki babak baru. UU tersebut tidak hanya mengubah postur kelembagaan KPK, tapi juga mengubah cara kerja KPK. Dengan UU baru itu, KPK sepenuhnya berbeda dengan KPK lama.
Perbedaan itu setidaknya mengacu pada tujuh poin dalam UU baru, yang sebenarnya sudah mendapat penolakan keras dari publik. Pertama, penegasan kedudukan KPK sebagai lembaga eksekutif sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 3. Kedua, dibentuknya Dewan Pengawas seperti termaktub dalam pasal 37A.
Ketiga, KPK meminta izin kepada Dewan Pengawas dalam penyadapan. Ini termaktub dalam Pasal 12B, Pasal 12C, Pasal 37B, dan Pasal 47. Keempat, Pasal 40, KPK dapat menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan penegak hukum sesuai dengan hukum acara pidana, kepolisian, kejaksaan, dan kementerian atau lembaga lainnya dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi. Keenam, penggeledahan dan penyitaan harus seizin Dewan Pengawas. Ketujuh, status pegawai tetap akan berubah menjadi aparat sipil negara.
Penegasan KPK sebagai lembaga eksekutif membawa dampak serius. Dibanding dengan UU lama yang menyebut KPK sebagai lembaga negara tanpa embel-embel lembaga eksekutif, UU baru ini menyiratkan satu pesan bahwa KPK secara hierarki kelembagaan berada di bawah Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di bidang eksekutif.
Karena ia merupakan lembaga yang berada di bawah Presiden, maka Presiden berhak melakukan pengawasan melalui wakil-wakilnya yang ditempatkan di Dewan Pengawas. Dalam konteks ini, Dewan Pengawas merupakan ancaman bagi independensi KPK.
Dewan Pengawas yang dimaksud dalam UU KPK yang baru ini berbeda dengan Dewan Pengawas di lembaga negara pada umumnya. Selain memberikan tugas pengawasan, UU baru ini juga memberikan tugas eksekutif, yang selama ini menjadi kewenangan pimpinan KPK.
Pasal 37B nomor 1 poin a dan b UU baru KPK berbunyi, Dewan Pengawas bertugas: a. mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi; b. memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.
Tugas memberikan izin ini tidak lazim dimiliki oleh sebuah lembaga pengawasan. Apalagi bagi KPK di mana sifat kepemimpinannya adalah kolektif kolegial, bukan struktural. (*)