Jakarta, SERU.co.id – Pemerintah Provinsi Aceh resmi meminta keterlibatan lembaga PBB, UNDP dan UNICEF dalam penanganan pascabencana. Ketua PP Muhammadiyah menilai langkah ini dipicu keterlambatan pemerintah pusat menetapkan status darurat nasional. Sementara itu, Presiden Prabowo menegaskan bencana hanya terjadi di tiga dari 38 provinsi dan situasi dinilai terkendali.
Kantor Perwakilan PBB di Indonesia menyatakan, pihaknya akan terus memantau perkembangan situasi dan aktif mengawal respons darurat di wilayah terdampak. UNDP telah menerima surat dari Pemprov Aceh dan tengah melakukan peninjauan.
“UNDP sedang mengkaji dukungan yang dapat diberikan. Khususnya kepada para tim penanggulangan bencana nasional serta masyarakat terdampak,” seru Kantor Perwakilan PBB di Indonesia, dikutip dari CNN Indonesia, Selasa (16/12/2025).
Sementara itu, UNICEF juga telah menerima surat serupa dan tengah menelaah kebutuhan prioritas. Khususnya yang berkaitan dengan perlindungan dan kesejahteraan anak. Tim UNICEF di Kantor Lapangan Aceh telah berada di lapangan. Diperkuat dengan tambahan keahlian teknis.
Juru Bicara Pemerintah Aceh, Muhammad MTA membenarkan pengiriman surat kepada dua lembaga PBB itu. Menurutnya, keterlibatan UNDP dan UNICEF sangat dibutuhkan mengingat besarnya tantangan pemulihan pascabencana.
“Kami mempertimbangkan mereka lembaga resmi PBB di Indonesia. Mereka memiliki pengalaman panjang di Aceh, terutama pascatsunami 2004,” ujar MTA.
Ia menambahkan, sejauh ini sedikitnya 77 lembaga kemanusiaan dan 1.960 relawan telah masuk ke Aceh. Terutama untuk membantu pengungsi dan menyalurkan bantuan di daerah terdampak.
Namun, langkah Pemerintah Aceh ini memunculkan respons beragam dari pemerintah pusat. Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengaku, belum membaca surat permintaan bantuan tersebut. Ia menyatakan, akan mempelajarinya lebih lanjut.
“Saya belum baca, saya belum tahu bentuk bantuannya seperti apa. Nanti kita pelajari,” kata Tito.
Baca juga: NGALAMALANG: Sound of Humanity Buka Donasi Digital QRIS Peduli Korban Bencana Sumatra
Kritik terhadap sikap pemerintah pusat datang dari Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas. Ia menilai, keterlambatan pemerintah pusat menetapkan status darurat bencana nasional di Sumatra berdampak serius terhadap penanganan krisis kemanusiaan.
“Bencana sebesar ini mustahil ditangani pemerintah daerah saja. Keterlambatan penetapan status darurat nasional mendorong Aceh mencari bantuan langsung ke PBB,” kata Busyro.
Di sisi lain, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Sultan Bachtiar Najamuddin justru mendukung keputusan Presiden Prabowo Subianto. Ia menilai, pemerintah nasional masih mampu menangani bencana dengan kekuatan dan sumber daya dalam negeri.
“Selama negara masih mampu mengelola dan memulihkan bencana ini. Harga diri bangsa harus tetap dijaga,” kata Sultan.
Presiden Prabowo sendiri menegaskan tidak melihat urgensi penetapan status bencana nasional. Ia menyebut, pemerintah telah mengerahkan seluruh kekuatan dan situasi di tiga provinsi terdampak dinilai terkendali.
“Ada yang teriak-teriak ingin ini dinyatakan bencana nasional. Ini tiga provinsi dari 38 provinsi. Situasi terkendali,” ujar Prabowo.
Presiden memastikan, pemerintah segera membentuk badan atau satuan tugas khusus rehabilitasi dan rekonstruksi. Bahkan, pembangunan 2.000 hunian tetap disebut mulai dilakukan pekan ini dengan memanfaatkan lahan milik negara.
“APBN siap membiayai seluruh pemulihan. Uangnya ada karena kita melakukan penghematan besar sejak awal pemerintahan,” tegas Prabowo.
Sebagai informasi, hingga Selasa (16/12/2025), jumlah korban meninggal dunia tercatat mencapai 1.030 orang dan 206 korban lainnya masih dinyatakan hilang. Korban banjir bandang di Angkola Sangkunur Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, bahkan trauma pulang ke rumah karena tak ada jaminan banjir tak datang lagi. (aan/mzm)








