Tapanuli Selatan, SERU.co.id – Pemerintah menyebut kayu-kayu gelondongan sisa banjir tidak boleh dimanfaatkan secara sembarangan. Namun, bagi korban banjir di Desa Tolang Julu, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, kayu-kayu itu menjadi penyangga kehidupan sementara. Bahan yang disisakan oleh alam itu diubah menjadi papan, tiang dan dinding darurat bagi warga yang rumahnya lenyap diseret arus.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman, menyoroti pemanfaatan kayu gelondongan oleh masyarakat yang terdampak banjir bandang. Meski memahami nilai ekonomis dan urgensi kebutuhan warga, Alex menegaskan, pengelolaan material tersebut tidak boleh dilakukan secara sembarangan.
“Kayu berbagai ukuran dan jenis itu kini dijadikan barang bernilai ekonomis seperti papan dan sejenisnya. Ini tak bisa dibiarkan terus berlanjut. Penanganannya harus merujuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,” seu Alex, Rabu (17/12/2025) lalu.
Alex menjelaskan, kayu yang terbawa banjir masuk dalam kategori sampah spesifik sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (4) UU Pengelolaan Sampah. Yakni sampah yang timbul akibat bencana alam. Kategori ini juga mencakup puing bangunan, sampah berbahaya dan beracun (B3) dan limbah yang belum dapat diolah dengan teknologi yang tersedia.
Di Desa Tolang Julu, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, kayu-kayu gelondongan itu justru menjadi satu-satunya harapan. Warga memilih memanfaatkannya untuk membangun hunian sementara bagi korban banjir bandang yang kehilangan tempat tinggal. Bersama TNI dan Polri, masyarakat bergotong royong tanpa kontrak, tanpa anggaran, selain rasa empati.
Kepala Desa Tolang Julu, Fuad Arrazy Daulay SH mengatakan, sedikitnya 55 rumah terdampak. 15 di antaranya rata dengan tanah, sementara 40 lainnya rusak parah.
“Hunian sementara sangat mendesak. Apalagi bulan Februari sudah masuk Ramadan, Maret Idul Fitri. Bagaimana mereka melewati itu kalau rumah tidak ada?,” ujar Fuad.
Masyarakat dari berbagai usia bergotong royong dan berbagi pekerjaan. Yang mahir memotong kayu mengambil gergaji mesin. Tukang bangunan memegang palu dan paku. Sementara yang lain mengangkut pasir dari jalan yang tertimbun sedalam dua meter.
Salah seorang warga, Ahmad Bilal Simatupang mengatakan, mereka menargetkan pembangunan tiga hingga empat rumah setiap pekan.
“Kami tidak bisa membantu dengan materi, jadi kami bantu dengan tenaga. Tidak tahu akan berakhir kapan (gotong royong). Yang pasti, kami ingin para pengungsi segera kembali memiliki tempat untuk pulang,” cerita Bilal kepada SERU.co.id.
Bagi Abdul Jalil Pulungan, salah satu korban banjir, hunian sementara dari kayu banjir sudah lebih dari cukup.
“Yang penting ada tempat tinggal dulu. Nanti kalau keadaan normal, baru dibangun dari awal,” katanya pelan. (aan/mzm)








