Menggandeng Pondok Pesantren Bahrul Maghfiroh
Wanita peraih Juara 1 Indonesian Young Green Award 2018 oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK RI) ini menceritakan ihwal perjalanan timnya. Dioola Indonesia menemukan ide untuk menghasilkan maggot, yakni larva (sering disebut ulat atau belatung) dari jenis lalat Black Soldier Fly (BSF). Dimana Maggot berfungsi sebagai pengurai sampah organik yang sangat efisien, mengubah limbah menjadi bahan yang berguna.
“Berawal dari masalah sampah yang dihasilkan dari sisa makanan, pengolahan sayur dan buah, kami mencoba memecahkan masalah melalui riset selama berbulan-bulan. Pada tahun 2019, kami mulai pilot project dengan menggandeng Pondok Pesantren Bahrul Maghfiroh (BM),” cerita Danty, kepada SERU.co.id di kantor Dioola Indonesia, Jalan Cianjur 3 Kota Malang.
Kala itu, sampah-sampah di pondok pesantren itu dikumpulkan di satu tempat yang telah disiapkan dalam wadah penampungan. Kemudian menyusun jadwal piket rutin dengan melibatkan siswa yang bertugas mengumpulkan sampah dari bak-bak sampah. Untuk menangani hal itu, dirinya dibantu oleh 4-5 rekannya dalam 1 tim Dioola Indonesia dengan bersinergi bersama para santri dan pengasuh Ponpes BM.
“Sebelum memulai, kami berikan literasi bagaimana riset dan project tersebut dapat menghasilkan maggot dan manfaatnya, itu menjadi daya tarik bagi santri untuk terlibat. Tempat penampungan berukuran 5×5 meter tersebut kami manfaatkan sebagai laboratorium, sekaligus lokasi ternak maggot dari sampah yang didapatkan setiap hari,” tutur Danty.
Jumlah sampah organik yang dihasilkan dari dapur Bahrul Maghfiroh dalam sehari masih terbatas 5-7 kilogram, tentunya butuh pasokan lebih agar hasil panen maksimal. Pasalnya, untuk mendapatkan hasil panen 1 kilogram maggot dibutuhkan 4 kilogram sampah organik sebagai pakan maggot. Untuk itu, pihaknya mencari sampah buah dan sayur dari pasar Gadang dan warung sekitar.
“Maggot setelah berumur 15-20 hari dapat dipanen, sementara siklus hidupnya 40-45 hari. Tentunya strategi yang kami gunakan bergantian, tidak sama waktu dan partisi tempat pengembangbiakannya,” jelas Danty.
Disebutkannya, kurang lebih 2-3 tahun tim Dioola Indonesia mendampingi para santri Ponpes Bahrul Maghfiroh. Selanjutnya, pihaknya hanya memantau keberlanjutan project tersebut hingga saat ini.
“Secara teknis, sudah lebih dari 3 tingkatan generasi yang meneruskan proses tersebut, mulai dari pengolahan, panen hingga produksi terjual. Selain menjual ke peternak lele, burung dan pengepul lainnya di sekitar ponpes, mereka juga menjual ke orang tuanya saat berkunjung. Hasilnya, kami kembalikan kepada para santri untuk diolah dan dinikmati bersama, simpelnya untuk uang saku mereka,” ungkap Danty.