Kota Malang, SERU – Di penghujung tahun 2019, Universitas Brawijaya (UB) mengukuhkan tiga Profesor sekaligus. Pengukuhan kali ini berbeda dengan pengukuhan sebelumnya, dimana sebelumnya dua atau tiga profesor berasal dari fakultas yang sama, namun kali ini dari tiga fakultas yang berbeda. Ketiganya akan dikukuhkan di gedung Widyaloka, Rabu,(18/12/2019).
Pertama, Prof Dr Dra Sri Winarsih, MSi,Apt, profesor di bidang Mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran (FK). Sekaligus profesor aktif ke-10 FK-UB, profesor aktif ke-180 di UB, dan profesor ke-257 yang telah dikukuhkan UB.

Kedua, Prof Devanto Shasta Pratomo, SE, MSi, PhD, profesor di bidang Ketenagakerjaan dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Sekaligus profesor aktif ke-23 FEB profesor aktif ke-181 di UB, dan profesor ke-258 yang telah dikukuhkan UB.
Ketiga, Prof Dr Drs Mochammad Al Musadieq, BBA, MBA, profesor di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia dan Perilaku Organisasi dari Fakultas Ilmu Administrasi (FIA). Sekaligus profesor aktif ke-13 FIA, profesor aktif ke-182 di UB, dan profesor ke-259 yang telah dikukuhkan UB.
Prof Dr Dra Sri Winarsih, MSi,Apt, profesor di bidang Mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran (FK), mengangkat judul pidato pengukuhan “Vaksinasi dan Imunomodulasi Untuk Mengatasi Penyakit Demam Tifoid.” Demam tifoid (tipes, red), adalah salah satu penyakit infeksi yang terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia, dengan angka kematian cukup tinggi. Disebabkan oleh bakteri Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi yang ditularkan melalui makanan dan minuman.
Saat ini, banyak kasus resistensi bakteri terhadap antibiotika, sehingga menyulitkan para dokter dalam menyelesaikan masalah penyakit infeksi.
Cara efektif untuk mengatasi masalah resistensi adalah dengan cara vaksinasi dan imunomodulasi. Pasalnya, individu tidak menjadi sakit, disamping bahan yang digunakan tidak langsung kontak dengan sel bakteri, sehingga tidak menginduksi resistensi bakteri.
“Vaksinasi bersifat mencegah penyakit secara spesifik, karena vaksin dibuat dari bagian sel bakteri penyebab penyakit tersebut. Sedangkan imunomodulasi bersifat tidak spesifik dengan menggunakan senyawa kimia (disebut imunomodulator) yang dapat mengatur respon kekebalan tubuh untuk melawan semua jenis penyakit infeksi. Kedua cara ini mengandalkan respon kekebalan yang dimiliki manusia,” beber dosen FK-UB ini.
Sementara itu, Prof Devanto Shasta Pratomo, SE, MSi, PhD, profesor di bidang Ketenagakerjaan dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), mengangkat judul “Momentum Bonus Demografi dan Tantangan Ketenagakerjaan di era Ekonomi Digital”. Menurutnya, tingkat penduduk produktif (usia kerja 15-64 tahun) di Indonesia lebih tinggi dibandingkan penduduk non produktif (tanggungan seperti anak-anak dan lansia). Hal ini diduga karena keberhasilan program KB di masa sebelumnya. Sehingga berkah kelebihan usia produktif tersebut dikategorikan dalam Bonus Demografi.
“Tentunya bonus demografi akan benar-benar menjadi berkah apabila Indonesia dapat mengambil manfaat. Sehingga muncul kekuatan besar bagi Indonesia di era persaingan ini,” jelasnya.
Penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai modal ketenagakerjaan menjadi kunci, disamping kebijakan makro ekonomi yang mendukung fleksibilitas dan keterbukaan pasar kerja.
Sayangnya, data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2018, menunjukkan angkatan kerja Indonesia masih didominasi oleh angkatan kerja dengan tingkat pendidikan yang rendah.
Sebaliknya, SDM tingkat pendidikan tinggi justru menjadi pengganguran terbuka. Hal ini disebabkan keterserapan tenaga kerja belum link and match. Artinya, skill SDM belum sesuai dengan kebutuhan kerja. “Ironisnya, justru mahasiswa banyak yang menjadi pengganguran terbuka. Karena alasan pilih-pilih pekerjaan yang tidak sesuai dengan ilmu kuliah,” terang Vanto, sapaan akrabnya.
Menghadapi era revolusi industri, Indonesia belum terlambat untuk mengantisipasi, karena hampir semua negara di dunia juga mengalami hal yang sama dengan datangnya perubahan ekonomi digital yang mendadak. “Solusinya, pengembangan Usaha Kecil dan Menengah berbasis digital dan penciptaan ekosistem yang menggambarkan sinergi antara dunia usaha, dunia pendidikan, dan pemerintah (triple helix), mutlak diperlukan. Terutama dalam hal penelitian dan pengembangan (R&D), inovasi, dan upaya peningkatan nilai tambah,” tandasnya.
Sedangkan Prof Dr Drs Mochammad Al Musadieq, BBA, MBA, profesor di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia dan Perilaku Organisasi dari Fakultas Ilmu Administrasi (FIA), menyoroti fenomena kepemimpinan ekspatriat, dengan judul “Kepemimpinan Ekspatriat dan Sumber Daya Manusia Lintas Budaya.” (rhd)