Malang, SERU.co.id – Banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat menimbulkan dampak kemanusiaan dan kerusakan lingkungan. Di balik bencana itu, dugaan deforestasi dan praktik tambang ilegal kembali mengemuka. Akademisi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menilai lemahnya pengawasan dan penegakan hukum menjadi akar persoalan yang harus segera dibenahi.
Dosen Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sumali MHum menilai, persoalan utama bukan terletak pada kekurangan aturan. Melainkan lemahnya penegakan hukum di lapangan. Ia menegaskan, regulasi lingkungan dan pertambangan di Indonesia sejatinya sudah cukup kuat.
“Hanya sana tidak dijalankan secara konsisten. Masalahnya bukan di aturan, tetapi di implementasi. Law enforcement kita masih menyisakan banyak kesenjangan. Aturan sudah kuat, tapi kerusakan tetap terjadi,” seru Sumali, Kamis (4/12/2025).
Ia menjelaskan, sejak 2012 Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang mengatur perlindungan lingkungan. Termasuk kewajiban pemerintah daerah mengawasi perizinan tambang dan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Bahkan, lembaga lingkungan dan masyarakat sebenarnya diberi ruang untuk terlibat dalam pengawasan.
“Sedikitnya tiga faktor utama menghambat efektivitas penegakan hukum. Pertama, kuatnya pengaruh modal korporasi. Tidak sedikit aparat tergoda kepentingan materi sehingga izin tambang tetap diterbitkan. Meskipun tanpa kajian lingkungan memadai, bahkan disertai praktik suap,” ungkapnya.
Kedua, persoalan di ranah peradilan. Menurutnya, banyak putusan pengadilan tidak sebanding dengan besarnya kerusakan lingkungan.
“Ada kasus yang tuntutannya puluhan triliun rupiah, tetapi vonisnya hanya miliaran. Ini yang saya sebut sebagai bentuk judicial corruption,” tegasnya.
Ketiga, lemahnya akses informasi bagi masyarakat. Minimnya keterbukaan membuat kontrol publik terhadap aktivitas tambang dan perusakan lingkungan menjadi tidak maksimal. Ia mengaitkan persoalan ini dengan teori sosiologi hukum dari Donald Black, yakni penegakan hukum sangat dipengaruhi stratifikasi sosial.
“Kelompok memiliki modal besar dan posisi strategis cenderung lebih mudah memperoleh izin. Kedekatan antara pemilik modal dan penguasa sering membuat persyaratan perizinan dilonggarkan. Inilah yang membuat pelanggaran terus berulang,” ujarnya.
Melihat kerusakan yang semakin nyata, Sumali menegaskan, solusi utama terletak pada keberanian menegakkan amanat. Ia memandang bencana yang berulang sebagai peringatan keras atas ulah manusia terhadap alam.
“Ini adalah peringatan. Alam menunjukkan akibat dari tindakan manusia yang melampaui batas,” ucapnya sambil merujuk pada nilai-nilai moral menjaga keseimbangan lingkungan.
Ia berharap, aparat penegak hukum dan pemerintah memiliki keberanian, integritas dan kesadaran moral untuk menindak pelanggaran tanpa tebang pilih. Menurutnya, negara juga perlu memberi dukungan dan penghargaan kepada pejabat yang berani bersikap tegas dalam menjaga lingkungan.
“Kita membutuhkan pemimpin yang berani, jujur dan bertanggung jawab. Tanpa kualitas amanat itu, kerusakan lingkungan akan terus berulang dan rakyat kembali menanggung akibatnya,” pungkas Sumali. (aan/mzm)








