Usung Feminisasi Petani, Setarakan Peran Perempuan Dalam Pengolahan Pertanian

Prof Dr Ir Yayuk Yuliati, MS, menyampaikan pidato pengukuhan. (ist)

• Pengambilalihan peran petani laki-laki yang menurun akibat menyusutnya lahan pertanian

Kota Malang, SERU – Mengusung Feminisasi Petani, Prof Dr Ir Yayuk Yuliati, MS., dikukuhkan sebagai Profesor dalam bidang Ilmu Sosiologi Pertanian, di Gedung Widyaloka Universitas Brawijaya (UB), Rabu (20/11/2019). Yayuk merupakan profesor aktif ke-40 dari Fakultas Pertanian (FP) UB, profesor aktif ke-176 di UB, serta Profesor ke-253 dari seluruh Profesor yang telah dihasilkan UB.

Baca Lainnya

Dalam pidato berjudul Peningkatan Kapasitas Perempuan Tani dalam Menguatkan Feminisasi Pertanian, Yayuk menyebutkan, keterlibatan perempuan dalam kegiatan pertanian semakin meningkat dibandingkan laki-laki. Fenomena meningkatnya jumlah tenaga kerja perempuan di sektor pertanian disebut Yuli sebagai feminisasi pertanian.

Prof Dr Ir Yayuk Yuliati, MS, menjawab pertanyaan awak media, sebelum pengukuhan. (rhd)

Merujuk data Badan Pusat Statistik tahun 2010, terdapat 42,8 juta jiwa rakyat Indonesia yang menggeluti bidang pertanian. Sementara pada tahun 2017, angkanya turun menjadi 39,7 juta jiwa. Hal ini menunjukkan persentase petani terus mengalami penurunan sebesar 1,1 persen per tahun. “Di sisi lain, jumlah angkatan kerja perempuan pada tahun 2016 sebesar 52,71 persen meningkat menjadi 55,04 persen pada Februari 2017. Sebaliknya, jumlah angkatan kerja laki-laki yang justru menurun dari 83,46 persen menjadi 83,05 persen,” beber Yayuk.

Perlu dipahami, pembagian peran, tugas, dan tanggung-jawab antara laki-laki dan perempuan disebut dengan gender. Gender, tidak sama dengan seksis atau jenis kelamin (Oukley, 1972). Jenis kelamin merupakan perbedaan manusia yang ditentukan oleh faktor biologis dan merupakan kodrat dari Tuhan. Sedangkan gender adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial.

“Gender dikonstruksi dan dipengaruhi oleh budaya setempat, geografis, dan perbedaan  generasi. Contohnya wanita Tengger dan Bali sudah terbiasa dengan pekerjaan. Sebab menurut keyakinan mereka (dalam agama Hindu, red), bekerja adalah dharma atau ibadah. Namun, semua itu bisa berubah, disamakan dan berlaku di daerah lainnya dengan edukasi untuk membuka wawasan,” bebernya, sembari menambahkan lokasi penelitian di Gresik, kawasan Bromo, PG Krebet, dan beberapa tempat lainnya.

Menurutnya, bentuk-bentuk ketidak-adilan gender ini lebih menimpa para perempuan. Banyak penelitian menyebutkan, meskipun tenaga perempuan yang dicurahkan dalam proses produksi pertanian sama tinggi dengan laki-laki, tetapi dalam pengambilan keputusan posisi perempuan di bawah laki-Iaki.

Sementara, feminisasi pertanian mengacu pada peningkatan partisipasi perempuan dalam pertanian, baik sebagai produsen independen, sebagai pekerja keluarga yang tidak dibayar, atau sebagai pekerja upahan pertanian. Di hampir seluruh belahan dunia telah terjadi feminisasi, termasuk di Indonesia. “Akibat menyempitnya lahan pertanian, petani laki-laki mencari penghidupan yang lebih baik di kota atau di luar negeri, sementara perempuan tinggal di desa mengurusi rumah tangga dan pertaniannya. Kecuali, dia bisa dibantu anak atau saudara laki-laki,” bebernya.

Bersama Prof Dr Ir Bambang Tri Rahardjo, SU, yang juga dikukuhkan sebagai profesor. (rhd)

Dalam pandangan Yayuk, fenomena feminisasi pertanian sebetulnya tidak menjadi masalah, apabila perempuan yang melanjutkan kegiatan pertanian sudah siap. Artinya, perempuan sudah mempunyai pengetahuan dan ketrampilan formal yang cukup seperti laki-laki. Serta ikut memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses produksi pertanian. “Kenyataannya, perempuan jarang sekali memperoleh pendidikan (penyuluhan) pertanian seperti laki-Iaki, bahkan pada program-program pemerintah yang sudah dilaksanakan jarang sekali melibatkan perempuan tani,” paparnya.

Meski pemerintah telah mengeluarkan kebijakan terkait kesetaraan dan keadilan gender, seperti UUD 1945, Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, lnstruksi Presiden Republik Indonesia No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, Peraturan Menteri Pertanian No. 09 Tahun 2019, tentang Santri Milenial, dan lainnya. Namun, dalam pelaksanaan dan hasilnya masih belum optimal.

Oleh karena itu, dalam rangka peningkatan kapasitas perempuan tani, Yayuk menyampaikan beberapa pemikiran dan strategi yang bisa dilakukan, yaitu : 1) Pemberian akses sumber daya kepada perempuan, 2) Pengurangan beban kerja perempuan, 3) Koordinasi yang kuat antara pemerintah dan masyarakat dalam merumuskan pembangunan yang berperspektif gender, dan 4) Perlu adanya diskusi dan sosialisasi gender bagi seluruh elemen masyarakat, agar tercipta kesetaraan gender khususnya dalam pembangunan pertanian. (rhd)

Berita Terkait

Iklan Cukai Pemkab Jember

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *