PB Djarum Kudus akan mengakhiri audisi umum pencarian bakat bulutangkis pada 2020 seiring mencuatnya polemik tuduhan eksploitasi anak-anak dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Melihat perkembangan berita di berbagai media massa dan media sosial, saya sampai pada sebuah kesimpulan. Bahwa, ada lebih banyak orang yang ‘berdiri’ di sisi PB Djarum ketimbang KPAI. Kok bisa begitu?
Seharian kemarin, entah sudah berapa tautan berita dengan kata kunci “audisi PB Djarum” di beberapa media daring ataupun postingan di media sosial. Tak hanya membaca beritanya, saya juga tergoda untuk memantau komentar-komentar para pembacanya di kolom komentar.
Postingan Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi di akun Instagramnya @nahrawi_imam yang bertuliskan “Mestinya jalan terus karena tak ada unsur eksploitasi anak. Bahkan, audisi Djarum sudah melahirkan juara-juara dunia. Lagipula, olahraga itu butuh dukungan sponsor. Ayo lanjutkan” hingga pagi ini mendapat 5.729 komentar.
Bagaimana isinya? Mayoritas mendukung statemen Menpora. Mendukung dalam artian agar PB Djarum tetap melanjutkan audisi umum pencarian bakat. Beberapa warganet meminta Kemenpora mengambil langkah tegas karena merasa masa depan bulutangkis kita terancam.
Sebenarnya, dalam polemik ini, mengapa ada banyak orang yang lebih ‘memihak’ PB Djarum ketimbang KPAI ataupun Yayasan Lentera Anak?
Untuk memahaminya, kita perlu melihatnya dari sudut pandang olahraga. Melihatnya dari lapangan sehingga kita bisa menemukan beberapa faktor. Tidak bisa sekadar melihat dari cara berpikir KPAI yang menjadi dasar tudingan eksploitasi anak-anak berbungkus audisi umum tersebut.
Faktor pertama, karena bulutangkis merupakan kebanggaan bangsa. Oke lha, sepak bola memang punya lebih banyak suporter di negeri ini. Namun, semua orang tahu, dalam hal memberikan kebanggaan untuk negara, sepak bola tidak ada apa-apanya dengan bulutangkis.
Karenanya, ketika audisi umum PB Djarum diusik, mereka yang cinta pada bulutangkis dan bangga dengan prestasi bulutangkis di pentas dunia, jelas merasa resah.
Sekadar informasi bagi yang belum paham audisi bulutangkis ini, dikutip dari cnnindonesia.com, PB Djarum sudah mengadakan audisi umum sejak tahun 2006 silam. Audisi ini bertujuan untuk menjaring lebih banyak bakat bulutangkis Indonesia. Bakat-bakat yang selama ini tak terjamah dengan metode talent scouting yang terbentur oleh waktu dan kesempatan, bisa berkesempatan menunjukkan kemampuannya.
Lewat audisi umum tersebut, semua yang berminat bisa datang. Semua anak baik dari desa maupun kota, punya kesempatan sama untuk berhasil. Para orang tua juga antusias mendampingi dan menyisipkan doa untuk perjuangan anak-anaknya.
Apalagi, di audisi umum tersebut, tidak ada istilah “anak titipan” atau “anak emas” seperti yang sering kita dengar di panggung olahraga. Mereka yang lulus audisi, karena memang dinilai memiliki kemampuan lebih dari yang lainnya. Mereka lantas mendapatkan beasiswa bulutangkis. Bukankah itu keren?
Faktor kedua, mengapa banyak orang berdiri untuk PB Djarum? Karena audisi PB Djarum selama ini sudah terbukti mampu menemukan bakat-bakat mumpuni di bulutangkis. Ada banyak atlet PB Djarum yang lantas masuk Pelatnas dan membela Indonesia. Tak sekadar masuk Pelatnas, mereka juga bolak-balik membanggakan Indonesia di pentas dunia.
Sampean (Anda) pernah dengar nama Maria Kristin? Atlet dari Tuban, sebuah kota di Jawa Timur ini pernah melambungkan nama Indonesia di Olimpiade. Ditempa di PB Djarum lalu masuk Pelatnas, Maria Kristin lantas meraih medali perunggu Olimpiade 2008. Dialah tunggal putri terakhir Indonesia yang meraih medali di Olimpiade.
Sampean pasti juga kenal dengan nama Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir yang meraih medali emas Olimpiade 2016 di nomor ganda campuran. Sampean juga pasti akrab dengan nama Mohammad Ahsan, sang juara dunia tiga kali bersama Hendra Setiawan. Ahsan juga didikan PB Djarum.
Badminton Lover juga pastinya paham dengan sosok “tengil” bernama Kevin Sanjaya Sukamuljo. Ganda putra ranking 1 dunia ini juga awalnya memeluh keringat di lapangan PB Djarum.
Bahkan, nama-nama itu bisa menjadi lebih panjang. Masih ada nama Leo Rolly Carnando dan Indah Cahya Sari Jamil yang merupakan juara dunia junior 2019 di ganda campuran. Ada pula Febriana Dwipuji Kusuma dan Ribka Sugiarto dan yang merupakan ganda putri juara Asia Junior 2018. Serta Rehan Naufal Kusharjanto dan Siti Fadia Silva yang merupakan juara ganda campuran Asia Junior 2017.
Nama-nama tersebut kini baru berusia 18 tahun dan 19 tahun. Mereka kini penghuni Pelatnas dan semuanya masa depan bulutangkis Indonesia. Dan mereka merupakan alumni audisi umum PB Djarum. Memang, PB Djarum Kudus bukan satu-satunya klub bulutangkis di Indonesia yang berhasil menghasilkan banyak pemain hebat. Masih ada PB Jaya Raya, PB Tangkas Intiland, PB SGS PLN Bandung, PB Mutiara Cardinal Bandung dan PB Exist.
Namun, harus diakui, PB Djarum selama ini telah memberikan sumbangsih besar bagi prestasi bulutangkis bangsa ini. Karenanya, wajar bila warganet dan pecinta bulutangkis khawatir dengan akan berakhirnya audisi umum bulutangkis tersebut.
Lalu, mengapa dalam polemik ini KPAI malah “sepi” pendukung? Warganet dan masyarakat yang berseberangan dengan KPAI, menyebut lembaga ini sejatinya masih punya banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Sementara mereka berseberangan, menyebut sebenarnya sudah ada kesepakatan jalan tengah tetapi ditolak. Ada yang menyebut bahwa anak-anak yang ikut audisi tersebut bahkan tidak tahu bila Djarum itu perusahaan rokok. Apalagi, selama menjadi atlet, tentu saja mereka tidak merokok.
Bahkan, ada netizen mempersilahkan agar dia datang ke Temanggung untuk melihat petani yang mengandalkan tembakau sebagai komoditi utama selain padi dan sayuran.
Lantas, diakhiri pertanyaan “Anda lebih malu mana, anak SD yang rusak moralnya karena otaknya terpengaruh sinetron dibandingkan anak bangsa yang berprestasi di kancah internasional?
Saya masih berharap, semoga saja, polemik ini segera menemukan titik temu terbaik. Memang, belum jelas apakah keputusan PB Djarum untuk penghentian audisi ini berlaku hanya di tahun 2020 saja atau seterusnya.
Namun, kita tentunya tidak mau bernasib seperti orang kehilangan yang baru merasakan pentingnya (yang hilang) bila sudah tidak ada. Jangan sampai, bangsa yang di pentas olahraga, dikenal dunia karena bulutangkis ini, kelak justru kesulitan menemukan bibit-bibit unggul dalam olahraga ini. Salam bulutangkis. (*)