Dukungan Tolak Revisi UU KPK Terus Mengalir

Kota Malang, SERU

Dukungan elemen masyarakat terhadap penolakan revisi UU KPK terus mengalir. Selain praktisi hukum, dukungan juga mengalir dari kalangan akademisi, dan beberapa elemen gabungan. Mengatasnamakan Akademisi Malang Raya, Penggiat Anti Korupsi Malang Raya, dan Koalisi Masyarakat Anti Korupsi Jawa Timur, sepakat mengambil sikap Menolak Operasi Senyap Revisi UU KPK.

Baca Lainnya

Sikap ini merespon kesepakatan DPR yang menginisiasi Revisi UU KPK yang diambil sebagai hasil keputusan Rapat Paripurna DPR, Kamis (5/9/2019) lalu. Dalam Rapat Paripurna yang dihadiri 281 dari 560 anggota DPR tersebut, 10 fraksi sepakat menjadikan Revisi UU KPK sebagai usul inisiatif mereka. Rencana tersebut pun langsung mendapatkan penolakan. Salah satu penolakan datang dari KPK sendiri.

Menurut Pakar Hukum Tata Negara dari FH-UB, Dr M Ali Safaat, SH, MH, mengatakan, pemberantasan korupsi di Indonesia masih masif. Sepak terjang KPK cukup merepotkan jaringan koruptor berdasi. Sehingga KPK menjadi sebuah lembaga hukum yang memiliki kekuatan dalam penegakan hukum terkait korupsi, gratifikasi, tangkap tangan, dan lainnya. Namun, dengan Revisi UU KPK seolah mengebiri dan mendegradasi kekuatan tersebut.

“Dengan revisi UU KPK, tentu melemahkan independensi KPK. Dimana pegawainya harus tunduk pada lembaga negara lain. Dengan revisi itu, KPK menjadi bagian institusi, sehingga ruang geraknya jadi terbatas. KPK tidak bisa lagi menjangkau kondisi tertentu, yang biasanya tak bisa dijangkau lembaga kepolisian. Disisi lain, sebaiknya DPR saat ini tidak meninggalkan PR buruk sebagai bom waktu untuk anggota DPR baru yang akan dilantik,” seru Ali, disela FGD di Gedung A Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH-UB) lantai 6.

FGD antar elemen masyarakat mengambil sikap Menolak Revisi UU KPK. (rhd)

Terkait penyadapan, lanjut Ali, idealnya atas persetujuan pengadilan. Namun di Indonesia belum ada aturan itu, jadi masing-masing institusi belum bisa diatur. Jika KPK tidak bisa melakukan penyadapan, apa bedanya dengan lembaga hukum lainnya. “Memang ini terkait privasi seseorang. Saran saya, ada waktu pembatasan penyadapan hingga memperoleh alat bukti,” terang Dekan FH-UB ini.

Senada, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Dr Sulardi, SH, MH, menilai pembatasan ruang gerak penyadapan tersebut konyol. Dimana DPR mengusulkan penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas KPK, yang notabene lembaga bentukan dan usulan hasil Revisi UU KPK itu sendiri. “Namanya KPK, bertugas menyadap orang yang diduga melakukan transaksi korupsi. Kalau harus menunggu izin selama 1×24 jam, itu lama. Transaksinya sudah selesai, izin baru dikeluarkan. Kan konyol itu. Logikanya saja lah. Kita mau menyadap harus minta izin Dewas bentukan DPR. Baru pengajuan draf, sudah bocor dulu,” serunya.

Sulardi mengajak kalangan akademisi dan masyarakat sipil sebaiknya memanfaatkan kekuatan moralitas untuk menolak revisi UU yang melemahkan KPK tersebut. Revisi UU KPK ke depan, menurut Sulardi, haruslah revisi UU yang memperkuat KPK. “Selain tak masuk Prolegnas, revisi ini melemahkan KPK. Kalau sudah ditolak, maka kita bisa bernapas. Kita bisa memperbaiki kinerja KPK. Masih ada harapan untuk menjadi lebih baik di masa depan. Namanya perubahan sepatutnya meningkatkan kinerja pemberantasan korupsi sendiri. Jangan mengurangi atau melemahkan,” tandasnya.

Akhirnya, Forum Group Discussion (FGD) tersebut menghasilkan sikap untuk, Pertama, menuntut penguatan KPK sebagai lembaga Independen. Kedua, menolak berbagai upaya dan agenda pelemahan terhadap KPK. Ketiga, menyesalkan dan mengutuk keputusan dan tindakan DPR-RI menyetujui RUU Perubahan UU KPK sebagai RUU inisiatif DPR-RI. Keempat, menuntut Presiden untuk menolak dan tidak memberikan persetujuan terhadap Revisi Undang-Undang KPK. (rhd)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *