Arief Joko: Film 18 KM Bagus, Menghibur, Tapi Kurang Tajam

Salah satu sekuel film 18 KM - Arief Joko: Film 18 KM Bagus, Menghibur, Tapi Kurang Tajam
Salah satu sekuel film 18 KM. (rhd)

Malang, SERU.co.id – Sebagai insan yang berkecimpung di dunia SMK dengan jurusan perfilman, Arief Joko Suryadi, SAg, MSi, mengapresiasi karya film pendek “18 KM: Malang-Batu, Kalau Masih Sayang Pasti Bertemu.” Terlebih debut karya pekerja seni dan hiburan Malang Raya ini mengangkat kearifan lokal.

“Sebagai Kera Ngalam, karya arek-arek Malang dari pekerja seni dan hiburan Malang Raya ini patut diacungi jempol. Secara teknis, baik tata kamera, tata suara dan tata artistik sudah cukup bagus. Demikian juga dukungan akting para pemainnya. Ada sedikit kaku itu wajar karena debut,” ungkap Executive Producer Darah Biru Arema (DBA) 1 ini.

Bacaan Lainnya
Arief Joko S (baju biru), saat terlibat produksi film “Jejak Langkah 2 Ulama.” (ist)

Arief menyoroti tujuan atau plotting cerita di film 18 KM kurang jelas. Artinya, apa yang ingin disampaikan tidak sepenuhnya bisa dipahami oleh masyarakat pada umumnya sebagai penikmat film.

“Motivasi dan konfliknya masih kurang tajam dan seharusnya masih bisa digali lebih dalam lagi. Sehingga bisa lebih menarik dan berbobot untuk episide atau cerita-cerita berikutnya,” imbuh Arief, didampingi Rudi, tim ahli Malvocs SMK Muhammadiyah 5 Kepanjen.

Pria yang malang melintang mencetak sineas-sineas muda asal Malang Raya ini, memberikan saran terkait penggunaan bahasa Jawa, utamanya khas Malangan. Salah satu tokoh Aremania ini menyoroti penggunaan bahasa daerah yang nanggung.

“Sah-sah saja menggunakan campuran bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Kalau mengambil latar Malang, totalitas menonjolkan bahasa walikan khas Arema. Egosentrisnya jelas. Harus beda, bukan sekedar bahasa Jawa,” kritik pria asal Kepanjen Malang ini.

Meski awalnya dibuat iseng sebagai debut, namun keseriusannya harus tetap totalitas. Visi misinya harus lebih luas. Pun media sosial itu cakupannya luas sekali. Arief menyarankan ada subtitle terjemahan ke bahasa Indonesia.

“Tidak semua film bahasa daerah itu bisa dinikmati semua kalangan. Agar bisa dinikmati lebih banyak penonton secara nasional, ya tentunya disertakan subtitle terjemahan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu,” tutur Arief yang turut dalam proses produksi film “Jejak Langkah 2 Ulama”, sinergi bareng PP Muhammadiyah dan Ponpes Tebu Ireng Jombang ini.

Terkait penokohan, pemeran utama Lanang  kalah dominasi oleh Yunna yang tampil lebih mendominasi dan total. Seharusnya titik tekan film itu pada tokoh utama, karakter dan alur cerita.

“Akting Yunna sedikit dikurangi, hanya sebagai bumbu. Jangan sampai membuat pemeran utama terabaikan oleh pemeran tambahan. Yang normal saja sesuai karakter di film. Bukan karakter sehari-hari masuk di film. Karena kekuatan utama film itu dibangun dari karakter, tokoh, dan cerita,” beber Arief.

Meski dibuat saat musim pandemi, menurutnya sah-sah saja tanpa menampilkan standar protokol kesehatan di film. Sebab film itu bersifat life time (seumur hidup, red), tergantung alur cerita dan maksud yang diusung.

“Karena saya lihat tidak ada pesan untuk Covid-19. Meski latar belakang atau ide awalnya karena pandemi. Penonton tidak pernah melihat latar belakang itu. Penonton hanya melihat filmnya, untuk mengambil pesan yang disampaikan,” timpal pria yang berprofesi sehari-hari sebagai pengajar ini.

Secara keseluruhan, Arief memberikan rentang nilai 70-75. Ada potensi untuk dikembangkan lebih jauh, mungkin seperti film seri, web series, sitkom, dan sejenisnya. Bukan sekedar debut, namun film itu prospektif.

“Potensinya luar biasa. Ada peluang ruang yang bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan pundi-pundi dalam menghidupi pemain dan kru. Kontraktual sponsor bisa masuk inframe sekecil apapun untuk di pop-up. Misal saat ngopi, ngemil, dan lainnya,” tandas Arif, sembari mengucapkan selamat atas rilis film 18 KM. (rhd)

Pos terkait