Jakarta, SERU.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan proyek PUPR-PKPP. Ia terjaring OTT bersama sejumlah pejabat di Riau. Kasus ini diduga melibatkan setoran “jatah preman” sebesar 2,5 persen dari nilai proyek.
Selain Abdul Wahid, KPK juga menetapkan dua pejabat lain sebagai tersangka. Yakni Kepala Dinas PUPR-PKPP Riau, Muhammad Arief Setiawan dan Tenaga Ahli Gubernur, Dani M Nursalam.
“Setelah ditemukan kecukupan alat bukti, KPK menetapkan ketiganya sebagai tersangka,” seru Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, dikutip dari Kompascom, Rabu (5/11/2025).
Johanis menjelaskan, perkara ini berawal dari pertemuan Sekretaris Dinas PUPR-PKPP Ferry Yunanda dengan enam kepala UPT wilayah. Dalam pertemuan itu, mereka membahas komitmen untuk memberikan fee sebesar 2,5 persen kepada Abdul Wahid. Khususnya atas penambahan anggaran proyek jalan dan jembatan tahun 2025.
“Fee itu berasal dari kenaikan anggaran UPT Jalan dan Jembatan. Dimana semula Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar. Naik sekitar Rp106 miliar,” jelas Johanis.
Dalam OTT tersebut, tim KPK mengamankan 10 orang di sejumlah lokasi di Riau. Termasuk Abdul Wahid yang sempat melarikan diri dan akhirnya ditangkap di sebuah kafe. Dani M. Nursalam, salah satu tersangka lainnya, kemudian menyerahkan diri ke KPK sehari setelah operasi dilakukan.
Selain menangkap para pihak terkait, KPK juga menyita uang tunai setara Rp1,6 miliar. Dalam bentuk rupiah, dolar Amerika Serikat dan poundsterling. Uang itu diduga merupakan bagian dari jatah preman yang diterima Abdul Wahid dari proyek-proyek di Dinas PUPR-PKPP.
“Istilah ‘jatah preman’ digunakan untuk menggambarkan pungutan liar dalam bentuk persentase. Terutama dari proyek yang kemudian disetorkan ke kepala daerah,” terang Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dilansir CNN Indonesia.
Atas perbuatannya, ketiganya disangkakan melanggar Pasal 12e, 12f, dan/atau 12B UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“Kami akan terus mendampingi Pemerintah Provinsi Riau dalam memperbaiki tata kelola pemerintahan. Kami menutup celah korupsi melalui fungsi koordinasi dan supervisi,” pungkas Budi. (aan/mzm)








