Jakarta, SERU.co.id – Indonesia dan Amerika Serikat (AS) sepakat mengintensifkan perundingan tarif dagang dalam tiga minggu ke depan. Kebijakan tarif impor sebesar 32 persen bagi seluruh produk dari Indonesia langsung mengguncang sektor ekspor nasional, terutama industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Ekspor TPT Indonesia ke AS diperkirakan bisa turun hingga 50 persen.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wiraswasta menyebut, kebijakan ini sebagai pukulan berat bagi industri garmen nasional. Ia memperkirakan, ekspor TPT Indonesia ke AS bisa turun hingga 50 persen.
“Kalau garmen kena tarif impor 57 persen, buyer AS akan berpikir seribu kali untuk memesan dari Indonesia. Ekspor TPT kita ke AS itu, 65 persennya adalah garmen,” seru Redma, dikutip fari CNBC, Kamis (10/7/2025).
Ia menjelaskan, kini ada beban tarif berlapis, yakni tarif dasar, bea masuk anti-dumping (BMAD) dan tambahan tarif Trump. Menurutnya, dengan beban tersebut, produk garmen RI menjadi jauh kurang kompetitif dibandingkan negara lain seperti Vietnam atau Meksiko. Ia bahkan menyangsikan pernyataan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang yang menyebut daya saing RI lebih baik dari Bangladesh.
“Untuk ekspor, cari pasar lain itu tidak mudah. Harus bersaing dengan China. Sementara untuk pasar domestik, pemerintah masih beri karpet merah bagi produk China. Ini juga yang bikin AS kesal,” ujarnya pesimis.
baca juga: Indonesia Dapat Peringatan Tarif 32 Persen dari AS Usai Jadi Anggota Penuh BRICS
Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede memperingatkan, dampak luas dari tarif 32 persen tersebut. Ia menyebut, kebijakan ini akan menurunkan daya saing ekspor Indonesia ke AS. Dimana AS sebagai mitra dagang utama RI dengan kontribusi 9–10 persen dari total ekspor nasional.
“Imbasnya bisa memperlebar defisit transaksi berjalan hingga 0,87 persen dari PDB pada 2025,” ujar Josua.
Meski situasi memanas, pemerintah tetap membuka ruang dialog. Menko Airlangga menyebut, perundingan akan fokus pada isu tarif, hambatan non-tarif, ekonomi digital, keamanan ekonomi dan investasi strategis.
“Kita memiliki pemahaman yang sama dengan AS terkait progres perundingan. Ke depan, kita akan terus berupaya menuntaskan negosiasi ini dengan prinsip saling menguntungkan,” ujar Airlangga, dikutip dari website resmi PANRB.
Airlangga juga menyinggung, potensi kerja sama di sektor strategis. Seperti pengolahan mineral kritis nikel, tembaga dan kobalt yang menjadi perhatian utama AS.
baca juga: Presiden AS Donald Trump Ancam Tambah Tarif 10 Persen untuk Negara BRICS Termasuk Indonesia
Hingga negosiasi menghasilkan solusi konkret, pelaku industri nasional hanya bisa berharap. Sebab per 1 Agustus, tarif baru mulai berlaku. Jika ini benar-benar terjadi, potensi pengurangan pesanan besar-besaran dari AS.
“Ini efeknya akan langsung ke pemotongan order. Buyer bisa saja langsung cancel,” pungkas Redma. (aan/mzm)