Malang, SERU.co.id – Indonesia memiliki ekowisata sebagai salah satu sumber daya alam non-ekstraktif potensial, seperti Taman Laut Nasional Bunaken. Namun, aspek kelembagaan ekowisata nasional dinilai tidak responsif terhadap keadilan sosial dan kearifan lingkungan masyarakat adat. Sebagai solusi, mahasiswa Hukum UB mengusulkan model kelembagaan baru, yakni Badan Ekowisata Terpadu Nasional yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Mahasiswa S3 Hukum Universitas Brawijaya (UB), Riyad menegaskan, tata kelola ekowisata nasional, seperti Taman Nasional Bunaken saat ini lebih menitikberatkan pada konservasi. Dikendalikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Akibatnya, stakeholder lain seperti pemerintah daerah, Kementerian Pariwisata, Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta masyarakat adat justru terpinggirkan. Terutama Suku Sangir, Borgo dan Bajo. Ini adalah permasalahan sama di ekowisata nasional lainnya,” seru Riyad dalam orasi disertasinya, Kamis (27/2/2025).
Menurutnya, ada dua permasalahan utama, yakni ‘legal gap’ (kesenjangan hukum) dan ‘ego sentris kelembagaan’. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya tidak selaras dengan UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, serta UU Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1965. Akibatnya, terjadi disharmoni hukum yang menghambat pengelolaan ekowisata secara inklusif.
“Pengelolaan yang terlalu sentralistik oleh KLHK membuat kepentingan stakeholder lain terabaikan. Pemerintah daerah, masyarakat adat dan sektor pariwisata tidak diberikan akses yang cukup untuk turut serta dalam pengelolaan ekowisata Bunaken. Hal ini menghambat pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, serta perkembangan sosial dan budaya masyarakat setempat,” urainya.
Sebagai solusi, Riyad mengusulkan model kelembagaan baru yang lebih inklusif dan berbasis keadilan sosial serta kearifan lingkungan masyarakat adat. Model ini disebut sebagai Badan Ekowisata Terpadu Nasional yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Untuk tingkat daerah, pengelolaan dilakukan oleh Unit Pelaksana Ekowisata Terpadu yang melibatkan semua stakeholder, termasuk masyarakat adat.
“Konsep ini sejalan dengan semangat Pancasila, di mana prinsip gotong-royong menjadi dasar utama dalam pengelolaan ekowisata. Melalui mekanisme ini, pemerintah daerah, masyarakat adat, serta sektor pariwisata dapat berkolaborasi. Terutama dalam mengembangkan kawasan ekowisata tanpa mengabaikan aspek konservasi lingkungan,” ujar alumni S2 Universitas Nasional ini.

Agar tata kelola ekowisata lebih inklusif, Riyad merekomendasikan rekonstruksi hukum dengan perubahan pada beberapa regulasi utama:
- Perubahan definisi Taman Nasional dari yang sebelumnya hanya berfokus pada pelestarian ekosistem. Menjadi lebih luas dengan menekankan manajemen gotong-royong Pancasila.
- Revisi Pasal 5A Ayat 5 UU Nomor 32 Tahun 2024. Pengelolaan kawasan konservasi di perairan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak lagi hanya di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan. Melainkan dikelola oleh Badan Ekowisata Terpadu Nasional.
- Pengesahan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat
Promotor dalam penelitian ini, Prof Dr Rachmad Syafa’at MSi menyoroti, hingga saat ini kebijakan wisata di Indonesia masih berpihak pada elite dan investor asing, sementara masyarakat lokal tersisih. Ia mencontohkan Bali, dimana sektor perhotelan dan bisnis wisata justru didominasi oleh pihak asing,
“Harapannya, pemerintah mengubah kebijakannya sehingga tunduk dan mengikuti konstitusi dengan menghormati masyarakat adat. Dengan begitu, masyarakat adat berada dalam struktur organisasi kelembagaan wisata. Dengan ikut mengelola, mereka tidak tersengkir dan kehidupan sosial ekonominya meningkat,” urainya.
Sementara itu, Prof Dr Imam Koeswahyono menambahkan, tata kelola wisata di Indonesia masih terlalu bergantung pada negara. Padahal, pengakuan terhadap masyarakat adat sebagai subyek hukum sudah diperjuangkan di Mahkamah Konstitusi.
“Ekowisata tidak boleh hanya menjadi slogan. Namun harus menjadi sistem yang berpihak kepada masyarakat lokal,” tegasnya. (afi/mzm)