Malang, SERU.co.id – Pasca Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, suhu politik semakin memanas lantaran dugaan berbagai kecurangan yang dilakukan beberapa pihak secara Terstruktur Sistematis dan Masif (TSM). Pakar Hukum Pemilu, Prof Dr Muchamad Ali Safaat SH MH dan Pengamat Politik, Wawan Sobari SIP MA PhD menyampaikan beberapa proyeksi politik pasca pemilu tersebut.
Pengamat Politik, Wawan Sobari SIP MA PhD menyampaikan, model bangunan pemerintah 2024. Serta predikisi koalisi dan opisisi mendatang yang diisi oleh berbagai partai politik dan elemen masyarakat tertentu. Dimana oposisi dihuni PDI dan PKS, sementara parpol lainnya akan jadi koalisi.
“Saya berupaya menjelaskan bagaimana perkiraan model bangunan, koalisi-koalisinya seperti apa, serta opisisi-oposisinya? Ketiga hal tersebut bisa diprediksi dari dua hal, pertama analisis perilaku memilih. Dari situ kita tahu, publik itu menghendaki bangunan seperti apa,” seru Wawan Sobari, dalam Bincang Santai Bersama Pakar (BONSAI) bertema Proyeksi Politik Pasca Pemilu, Selasa (27/2/2024).
Dosen Ilmu Politik FISIP tersebut menambahkan, situasi atau gambaran kondisi pasca pemilu menunjukkan, kegiatan tersebut tidak berjalan senyap tapi terbuka. Bahkan atas dugaan kecurangan salah satu paslon yang didukung pemerintah, dua paslon lainnya bersepakat untuk menggugat menggunakan hak angket melalui DPR RI.
Baca juga: OJK-BEI Gandeng FEB UB Edukasi Pasar Modal Terpadu kepada Mahasiswa
“Jika ada kecurangan, MK yang akan memutuskan, namun sebelum menuju ke MK, para tim penggugat lebih memilih menggunakan hak angket. Hal ini bentuk demo sebagai democracy rule of law, jadi kita harus menghormati jika memang ada sengketa pemilu. Berpengaruh pada dunia politik ke depan, konteks oposisi atau koalisi yang terbangun seperti apa?” bebernya.
Berdasarkan pengumpulan data terkini dari berbagai lembaga survei oposisi sebesar 25 persen, berbanding koalisi dengan jumlah 75 persen. Meski kalah secara suara, PDIP dan PKS bisa berjuang lewat narasi, misalnya dengan hak angket.
Baca juga: Rektor UB Pamerkan Program MBKM di Universitas Amerika Ras Al Khaimah
“Persoalan angka rendah, yang penting menyuarakan keinginan publik, bahwa oposisi itu memang penting. Konteksnya tidak hanya di dalam parlemen, bisa juga lewat digital. Ingat ada suara publik sebesar 25 persen yang tidak setuju dan itu perlu diperjuangkan,” terang Wawan.
Wawan menegaskan, PDIP sudah punya catatan menjadi oposisi selama dua periode saat kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pakar politik UB ini berharap, PDIP punya garis tegas menjadi oposisi, bukan karena alasan Jokowi berkhianat, melainkan karena memang kalah dalam kontestasi pemilu.
Baca juga: UB Kembali Gelar Penggalangan Dana untuk Palestina
“Meski ada pertemuan Jokowi dengan Megawati, kalau melihat karakter PDIP saya pikir tidak akan masuk sebagai koalisi. Mereka sepertinya tetap akan menjadi oposisi,” ujar Wawan.
Ia menjelaskan, dalam teori penentu koalisi ada 8 hal yang dapat dilihat, di antaranya:
1. komposisi partisan (kursi legislator),
2. pembagian jabatan eksekutif antara pihak-pihak yang berpartisipasi,
3. alokasi portofolio,
4. kesamaan ideologis,
5. kekuatan partai inti,
6. pemimpin partai,
7. institusi (aturan koalisi),
8. titik ideal median pemilih (isu)
Sementara untuk teori penentu oposisi ada 5, yaitu:
1. pengaturan kelembagaan oposisi (peluang mempengaruhi kebijakan),
2. partai/pemimpin partai,
3. polarisasi ideologi,
4. tingkat fragmentasi legislatif (partai),
5. preferensi median badan legislatif.
Baca juga: Penuh Haru, Keluarga dan Sahabat Wakili Dua Wisudawan UB yang Meninggal Dunia
Sementara itu, Pakar Hukum Pemilu, Prof Dr Muchamad Ali Safaat SH MH menjelaskan, proses pemungutan suara yang telah dilakukan 14 Februari lalu belum usai. Masih ada beberapa tahapan setelah pemilihan, dan kemungkinan perkara hukum apa saja yang bisa muncul.
“Setelah pemungutan suara penghitungan suara mulai dari TPS di provinsi sampai nasional hingga ke KPU. Disitulah secara legal formal siapa calon terpilih untik presiden, wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dan jika dalam kurun waktu tersebut terjadi perselisihan atau sengketa maka akan menjadi wewenang MK,” katanya.
Baca juga: Target 20 Persen, UB Kukuhkan Empat Gubes dari FP FISIP FEB
Prof. Ali menambahkan, jika tidak ada yang melaporkan terkait perselisihan atau sengketa pemilu, maka proses yang kemarin hanya dianggap sebagai dinamika atau pembelajaran politik saja. Namun kenyataannya, karena dugaan kecurangan maka muncul perselisihan pasca pemungutan suara dan hak angket.
Menurutnya, sejak dari awal sudah ada settingan untuk mengarahkan pada paslon tertentu dan diperbolehkan secara hukum. Sehingga ketika mencuat permasalahan hukum, pemerintah dan pihak berkepentingan memiliki dasar melalui produk hukum terbaru.
Baca juga: Potensi Pilpres Satu atau Dua Putaran? Ini Analisis Akademisi FISIP UB
“Semisal pelolosan Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres, ketika ditarik ulang, maka percuma karena sudah lolos,” tegasnya.
Bentuk kecurangan lainnya, mengalihkan dan mengubah jumlah suara. Jika dasar sistem dan prosedur diperkuat, maka pengaturan tersebut sudah terlaksana.
“Maka muncullah hak angket salah satu hak DPR, sebagai fungsi hak pengawasan dan anggaran.
Ditujukan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan UU dan pemerintah. Materinya bisa saja terkait pelaksanaan Pemilu, atau UU Pemilu, keberpihakan para menteri, kepala daerah, TNI dan Polri,” bebernya.
Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Brawijaya (UB) Prof. Dr. Muchamad Ali Safaat, SH., MH berpendapat, meski beberapa hakim di MK pernah terbukti melalukan pelanggaran etik, MK saat ini bisa dipercaya untuk dapat memberikan putusan yang objektif.
Baca juga: Akademisi UB: Pemilu 2024 Memanas, Dipicu Kalangan Elit
“Menurut saya, putusan MKMK yang memberhentikan Anwar Usman dan melarang ikut memutus perkara perselisihan hasil pemilu itu cukup untuk mengembalikan kepercayaan publik. Meskipun belum keseluruhan kepercayaan terhadap konsitusi,” ucapnya.
Secara garis besar, dia menilai, saat ini hakim di MK terbagi atas 3 golongan. Pertama, mereka yang sangat terpercaya dan berintegritas. Kedua, hakim yang cenderung memihak atau bersikap seperti politisi, dimana mereka mempertimbangkan kekuatan politik untuk mengambil keputusan. Ketiga, hakim yang dapat merubah sikapnya tergantung pada kondisi, atau dalam Pemilu biasa disebut dengan swing voter.
“Kenapa MK bisa dipercaya, karena kondisinya saat ini menurut saya, hakim yang terpercaya ini sedang dominan,” tandasnya. (rhd)