Malang, SERU.co.id – Aliansi Mahasiswa Resah (Amarah) Brawijaya menggelar aksi unjuk rasa mendesak pimpinan Universitas Brawijaya mengeluarkan kebijakkan memotong Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), Kamis (18/6/2020).
Ini adalah aksi kedua setelah sebelumnya mahasiswa menggelar aksi serupa beberapa waktu lalu. Mereka menilai petinggi UB tidak peka terhadap kondisi mahasiswa di tengah pandemi Covid-19. Mahasiswa menuntut agar rektorat mengeluarkan kebijakkan akibat masa pandemi.
“Kami menilai kebijakkan Peraturan Rektor Universitas Brawijaya Nomor 17 Tahun 2019 belum mengakomodir keinginan mahasiswa. Peraturan tersebut dibuat sebelum ada pandemi, sehingga dirasa kurang relevan dengan kondisi saat pandemi,” ungkap Ragil Ramadhan, Humas Amarah Brawijaya.
Selain itu, implementasi Pertor di masing-masing fakultas jauh dari ekspektasi dan cita-cita Pertor itu sendiri. “Kami sudah mengajukan melalui fakultas, namun hingga kini menjelang tenggat waktu pembayaran UKT, belum juga turun. Birokrasinya terlalu ruwet,” ungkap salah satu demonstran.
Sementara itu, Wakil Rektor 3 UB Profesor Abdul Hakim, saat menerima aksi mahasiswa menjelaskan, melalui surat edaran Rektor sudah dituangkan terkait UKT itu. Disebutkan, 9700 mahasiswa tidak bayar SPP karena sudah dibayar APBN dan 2424 Maba UKT dibayar negara. “Saat ini sudah ada banyak pengajuan. Silakan yang terdampak mengajukan ke kami, kami fasilitasi. Yang mampu Rp 500 ribu Rp 1 juta per semester, buanyak dan kami fasilitasi,” ujar Hakim.

Tak hanya keringanan SPP dan UKT, UB juga telah memberi 3.500 bantuan sembako dan 7000 kuota internet. Silakan buat posko untuk memfasilitasi teman-teman kalian yang terdampak. Asal jangan bohong, jangan mampu mengaku tidak mampu. Kalau bohong resikonya dicoret,” seru Hakim.
Mendapat jawaban itu, gabungan mahasiswa S1 dan pasca sarjana bersikukuh itu jawaban untuk Bidikmisi. Pun sistem pembayaran mengangsur dinilai tetap memberatkan, karena masih dianggap berhutang ke universitas. Sementara jangankan untuk mengangsur, untuk kebutuhan tiap hari saja kesulitan. Mereka mendesak agar UKT atau SPP dipotong 50 persen untuk semua mahasiswa, tanpa harus mahasiswa mengajukan ke fakultas atau rektorat lebih dulu.
“Poinnya, karena dampak pandemi ini luas. Seharusnya ada inisiatif UB memberikan keringanan untuk seluruh mahasiswa. Lantaran mahasiswa tidak menggunakan fasilitas kampus atas jasa layanan pendidikan. Kan poin-poin di UKT disebutkan ada praktikum, dan lainnya yang tidak kami dapatkan saat ini. Itu yang harus ditoleransi untuk penurunan UKT,” tegas demonstran.
Dalam aksi damai tersebut, mahasiswa membentangkan spanduk bertuliskan berbagai macam kritikan seperti UKT jadi PPT, Kampus Nyakitin, Yang Miskin Putar Balik, Rektorat Kurang Ngopi, dan banyak lagi. Mahasiswa juga memasang spanduk besar bergambar gedung rektorat yang di atasnya terdapat tulisan Money Heist.
Mahasiswa melakukan aksi di gerbang Jalan Veteran, lalu pindah ke depan gedung rektorat. Dalam aksinya tersebut, mahasiswa menuntut:
Pertama: Pengurangan Uang Kuliah Tunggal (UKT) atau Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) sebesar 50 persen terhadap seluruh mahasiswa Universitas Brawijaya baik Program Vokasi, Sarjana dan Pascasarjana pada semester ganjil Tahun 2020/2021.
Kedua: Pembebasan Uang Kuliah Tunggal (UKT) atau Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) bagi mahasiswa yang hanya mengambil tugas akhir (tugas akhir vokasi, skripsi, tesis dan desertasi) dan tidak sedang mengambil mata kuliah lain.
Ketiga: Tanpa menghilangkan hak yang tertera pada poin 1, mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) yang sedang tidak mengambil tugas akhir dapat mengajukan pembebasan, pengurangan dan atau penundaan.
Keempat: Mekanisme pengajuan pembebasan, pengurangan dan atau penundaan diatur oleh Peraturan Rektor. (rhd)