Surabaya, SERU.co.id – Kondisi ekonomi keluarga kembali menempatkan Yunus Susilo pada persimpangan hidup yang tidak mudah. Anak seorang prajurit TNI AU berpangkat rendahan ini sejak awal menyadari bahwa ia harus berjuang jauh lebih keras dibandingkan kebanyakan orang untuk mengubah nasibnya.
Bagi Yunus, pendidikan adalah satu-satunya jalan. Ia meyakini bahwa kuliah dan peningkatan kualitas sumber daya manusia akan sangat menentukan masa depan. Keyakinan itu tumbuh dari lingkungan keluarga sederhana yang mengajarkannya arti perjuangan sejak dini.
“Saya paham betul, tanpa pendidikan, akan sulit bagi saya keluar dari lingkaran keterbatasan. Semangat itu pula yang selalu ditanamkan kakek, Saya masih mengingat pesan beliau yang sederhana namun penuh makna, abang kalau belajar harus jadi juara,” kenang Yunus.
Sebagai anak pertama dari empat bersaudara, Yunus sadar betul kondisi keluarganya tidak memungkinkan untuk membiayai pendidikan tinggi dengan mudah. Memiliki tiga adik membuat kedua orang tuanya harus memutar otak agar kebutuhan keluarga tetap terpenuhi. Kuliah, bagi Yunus saat itu, terasa seperti mimpi yang hampir mustahil diraih.
Namun tekadnya sudah bulat. Ia memberanikan diri melangkah ke dunia perguruan tinggi dan diterima di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM). Perjalanan akademiknya pun jauh dari kata mulus. Keterbatasan biaya memaksanya mengalami putus-sambung kuliah. Yunus harus berhenti di semester V, kemudian kembali melanjutkan kuliah di semester VI, sebelum akhirnya kembali cuti di semester VII.
Selama tiga hingga empat tahun, masa kuliah menjadi periode penuh perjuangan. Selain masalah biaya, Yunus juga kerap menerima hinaan karena berasal dari keluarga kurang mampu. Meski demikian, ia menolak menyerah. Setiap kali semangatnya menurun, pesan sang kakek kembali terngiang di benaknya.
Tahun 1988 menjadi saksi betapa kerasnya kehidupan mahasiswa bernama Yunus Susilo. Uang saku bulanannya hanya Rp50.000, jumlah yang bahkan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama setengah bulan. Untuk bertahan, ia aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler kesenian demi mendapatkan jatah makan gratis.
Tak jarang, Yunus memilih berpuasa untuk menekan pengeluaran. Hidup serba pas-pasan itu tidak membuatnya berkecil hati. Ia percaya, perjuangan tak akan mengkhianati hasil.
Titik balik kehidupannya datang saat ia berada di semester VI. Saat itu dibuka rekrutmen calon perwira militer sukarela. Yunus memberanikan diri mengikuti seleksi tersebut.
“Alhamdulillah, saya lulus dalam rekrutmen perwira tersebut,” kenangnya.
Sejak saat itu, karier Yunus di TNI mulai menanjak hingga mencapai pangkat terakhir sebagai kapten. Penghasilannya pun ikut meningkat, terlebih saat ia terlibat dalam sejumlah proyek di luar kedinasan. Bahkan, sempat terlintas di benaknya untuk lebih fokus mengurus proyek dibandingkan mengejar karier militer.
Keinginan untuk pensiun akhirnya terwujud pada tahun 2015 melalui pensiun dini dari militer. Setelah itu, Yunus melanjutkan pengabdian di dunia pendidikan sebagai dosen di Kampus Unitomo Surabaya. Ia juga dipercaya menjadi pendiri sekaligus Ketua Program Studi Humanika Unitomo selama tiga tahun.
Dari perjalanan hidupnya, Yunus menyampaikan pesan sederhana namun kuat, “jangan takut untuk berubah, harus berani terhadap rintangan dan nekat dalam mencapai tujuan hidup. Termasuk harus kreatif.”
Kisah Yunus Susilo menjadi bukti bahwa keterbatasan bukanlah penghalang, melainkan pijakan untuk melompat lebih tinggi. (edo/ono)








