Malang, SERU.co.id – Kemiskinan ekstrem di Indonesia masih menjadi masalah kompleks yang memerlukan pendekatan holistik dan menyeluruh. Upaya pengentasan kemiskinan ini semakin penting dengan kontribusi dari perspektif sosiologi pedesaan yang berfokus pada masyarakat di daerah pedesaan. Namun, tantangan tersebut tetap besar, terutama di wilayah Papua, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Kalimantan Tengah (Kalteng).
Guru Besar bidang Ilmu Sosiologi Pedesaan Berkelanjutan Universitas Negeri Malang (UM), Prof Dr I Nyoman Ruja SU menjelaskan, sosiologi pedesaan adalah studi yang berfokus pada kehidupan masyarakat desa. Ilmu ini menganalisis struktur sosial, budaya, dan proses ekonomi yang membentuk interaksi komunitas di wilayah pedesaan. Menurut Prof. Nyoman, sosiologi pedesaan memberikan wawasan penting tentang cara masyarakat desa beradaptasi dengan perubahan sosial dan ekonomi yang terus berlangsung.
“Peluang untuk mencapai kemiskinan 0 persen sangat bisa, karena kita adalah negara yang kaya. Namun, karena banyaknya korupsi, target tersebut belum bisa tercapai,” seru Prof. Nyoman, menyoroti tantangan besar dalam mencapai tujuan pengentasan kemiskinan ekstrem.
Studi sosiologi pedesaan menekankan, pentingnya memahami keterbatasan akses masyarakat pedesaan terhadap layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan dan peluang ekonomi. Kemiskinan yang sering menjadi masalah utama di desa-desa menghambat masyarakat dalam memperoleh akses terhadap layanan penting ini. Selain itu, kebijakan pemerintah dan fenomena migrasi juga memiliki pengaruh besar, baik positif maupun negatif terhadap kemiskinan di daerah pedesaan.
Baca juga: Dukung Industri Tape Lokal, Dosen UM Kembangkan Teknologi Pengolahan Limbah Ketela
“Ada berbagai teori dalam sosiologi pedesaan menyediakan kerangka untuk memahami dinamika kemiskinan di masyarakat desa,” ungkapnya.
Teori Fungsionalisme Struktural, misalnya, melihat struktur sosial sebagai penopang kestabilan masyarakat desa. Setiap elemen sosial dianggap memiliki peran penting dalam menjaga kelangsungan sistem sosial di pedesaan, yang berdampak pada upaya pengentasan kemiskinan.
Baca juga: Tiga Dosen Berorasi dalam Pekan Ilmiah Polinema, Begini Inovasinya
Sebaliknya, Teori Konflik, menyoroti ketidaksetaraan dan perselisihan antar kelompok dalam masyarakat desa, terutama terkait distribusi sumber daya dan kekuasaan. Menurutnya, ketidakadilan dalam distribusi ini sering kali memperburuk kemiskinan di kalangan kelompok tertentu, sehingga perlu adanya intervensi yang efektif.
Teori Modernisasi, berfokus pada transformasi sosial dan ekonomi yang terjadi di pedesaan melalui adopsi teknologi. Modernisasi dinilai dapat meningkatkan kesejahteraan desa, terutama melalui peningkatan produktivitas pertanian dan kesempatan kerja baru yang muncul seiring adopsi teknologi.
Baca juga: Samakan Persepsi dan Strategi, UIN Malang Gelar Pertemuan Dosen
Di sisi lain, Teori Ketergantungan, menyoroti ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju, yang dapat memperparah kemiskinan. Ketergantungan ini menciptakan pola ketidakmandirian yang sulit diputus, terutama di daerah pedesaan yang memiliki akses terbatas terhadap modal dan teknologi.
Selain itu, Teori Ekologi Sosial, melihat hubungan erat antara masyarakat dan lingkungan alam. Dalam konteks ini, adaptasi terhadap perubahan lingkungan menjadi penting untuk mendukung ketahanan ekonomi dan sosial masyarakat pedesaan.
Baca juga: Dosen FISIP UMJ: Kalau Berangkatnya Kurang Baik, Hasilnya Juga Kurang Baik
“Perubahan lingkungan dapat mempengaruhi produktivitas pertanian yang dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat desa,” ujar Prof Nyoman.
Prof Nyoman menambahkan, program pengentasan kemiskinan di Indonesia telah berfokus pada beberapa sektor, seperti energi, kesehatan dan pangan. Subsidi energi dan konversi bahan bakar bertujuan untuk memastikan akses energi yang terjangkau bagi keluarga miskin. Sementara itu, program bantuan pangan seperti Rastra dan BPNT berupaya memenuhi kebutuhan dasar pangan masyarakat miskin.
Berdasarkan data terbaru, tingkat kemiskinan ekstrem mengalami penurunan dari 2,04 persen pada 2022 menjadi 1,12 persen pada 2023. Prof Nyoman menjelaskan, Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan contoh dari Conditional Cash Transfer (CCT) yang mendukung pendidikan dan kesehatan anak-anak dari keluarga miskin. Program ini memberikan insentif kepada keluarga untuk memastikan anak-anak mereka tetap bersekolah dan mendapatkan layanan kesehatan yang memadai.
“Pengentasan kemiskinan ekstrem di Indonesia perlu difokuskan pada strategi holistik dan inovatif. Pendidikan dan pelatihan yang meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, serta keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja, menjadi komponen penting. Pemberdayaan ekonomi melalui dukungan kewirausahaan juga harus ditingkatkan, termasuk penyediaan modal, pelatihan bisnis, dan akses pasar yang mempertimbangkan potensi lokal,” terang Prof Nyoman.
Pendekatan berbasis bukti menjadi krusial dalam merancang dan mengevaluasi program pengentasan kemiskinan. Ia berharap, data dan analisis yang berbasis potensi wilayah dapat membantu meningkatkan efektivitas dan efisiensi program, sehingga tujuan pengentasan kemiskinan ekstrem dapat tercapai secara berkelanjutan. (ws12/rhd)