Produktifitas Merosot dan Bakal Jadi Buah Langka

PANEN : Petani saat memanen buah apel. (ist)

#Menengok Nasib Buah Apel Ikon Kota Batu

Batu, SERU.co.id – Buah apel merupakan ikon Kota Batu, tapi lambat laun keberadaanya semakin terancam. Banyak faktor yang mempengaruhi seperti perubahan iklim, menyusutnya lahan pertanian, dan potensi pertanian lain yang lebih menguntungkan petani. Beberapa hal itulah yang membuat produktifitasnya menurun drastis, hingga harus mendatangkan apel dari daerah lain seperti Pujon, Kabupaten Malang dan Nongkojajar Kabupaten Pasuruan.

Dari data yang dimiliki Dinas Pertanian Kota Batu, untuk luas lahan apel sejak tahun 2015 :1.768,27 Hektar, 2016 : 1.765, 57 Hektar, 2017 : 1.759,69 Hektar, 2018 : 1.765 Hektar dan tahun 2019 : 1.092,8 Hektar. Jumlah tersebut masih belum 100 persen.

Ketua Gapoktan Tani Bangkit Desa Pandanrejo, Kota Batu, Winardi membenarkan hal tersebut. Pertanian apel semakin lama tergerus dengan buah lain yang lebih menjanjikan keuntungan dan mudah perawatannya bagi petani yaitu buah jeruk.

“Dulu banyak petani di Kecamatan Bumiaji yang bertani apel, sekarang tidak mereka beralih menanam jeruk. Apalagi bibit apel juga sulit, pemeliharaan yang mahal, dan juga sulitnya mencari pekerja di bidang pertanian juga salah satu faktor,” beber Winardi, Minggu (30/8/2020).

Lanjut Winardi, iklim di Kota Batu sudah berubah drastis semenjak pesatnya wisata. Gas karbon hasil kendaraan yang keluar masuk Kota Batu, kemudian banyak pula petani yang tergiur menjual tanah karena merasa rugi dengan bertani.

“Yang memperburuk nasib petani yaitu tidak adanya jaminan harga apel. Terbukti kemarin harga terjun bebas hingga merugikan petani. Dalam pemasarannya pun mereka harus menjual sendiri ke luar kota seperti Bali, Bandung, hingga Jakarta,” beber dia sembari menyebutkan biaya perawatan tiap hektarnya mencapai Rp 1 juta sampai Rp 2 juta saat musim hujan.

Setiap hektar petani hanya bisa panen hingga 20 ton. Ini karena unsur organik dalam tanah yang terus berkurang serta usia pohon yang sudah tua. Sedangkan dulu tahun 1990an sebelum perubahan iklim dan belum pesatnya pariwisata per hektar lahan mempu menghasilkan 60 ton apel.

“Sekarang perkilogram apel harganya Rp 6000-8000 ribu dari petani ke pedagang. Seharusnya harga jual dari petani untuk mendapat keuntungan diatas Rp 10 ribu. Jika panen serentak pada bulan yang sama bisa mencapai harga Rp 3000-5000 perkilogram,” terang pria yang sering menjadi mentor pertanian di beberapa universitas.

Begitu juga dengan jeruk. Untuk harga hampir sama dengan apel. Tapi untuk perawatan lebih mahal dan susah apel dibanding jeruk. Diurainya, jeruk panen 8 bulan sekali. Apel bisa 3 kali.

“Lebih mudah memelihara jeruk. Karena sekai berbunga jeruk pasti panen. Beda dengan apel yang bisa panen setahun tiga kali. Tapi kalau apel bunga bisa rontok saat curah hujan tinggi atau angin kencang. Belum lagi apel harus ngrempesi daun dan mbungkusi,” imbuhnya lagi.

Sebab itulah yang membuat petani apel pindah ke jeruk. Apalagi jika menanam dari awal atau pembibitan perbandingan cukup lama. Untuk apel butuh waktu 5 tahun untuk panen, sedangkan jeruk  hanya butuh 2-3 tahun. Meski begitu, ia tak menutup mata dengan adanya bantuan bibit apel, saprodi, hingga bantuan pupuk organik.

“Tapi itu hanya stimulus. Selama ini tidak ada tindak lanjut di lapangan atau pengawasan bagi yang mendapat bantuan,” urainya.

Sekarang desa yang masih bertahan bertani apel yaitu Desa Punten, Sumbergondo, Tulungrejo, Giripurno, Pandanrejo, Bumiaji, dan Sumberbrantas. Dari sembilan desa itu, hanya ada sekitar tiga desa yang menanam bibit baru.  Untuk lahan yang masih tersisa sekitar 100 hektar dari ribuan hektar lahan pertanian apel perbandingannya 1:10.

“Harusnya Pemkot Batu segera turun tangan, beberapa waktu lalu rombongan pemkot bersama dinas pernah studi banding ke pertanian apel di Jepang. Sampai sekarang tidak ada implementasinya di Kota Batu,” keluhnya.

Anggota DPRD Kota Batu dari Fraksi PKB Didik Subiyanto berpendapat sama. Saat ini produktifitas hasil panen merosot tajam. Untuk itu, dewan sekaligus petani dan pedagang apel dan jeruk ini berharap ada perhatian secara serius dan berkala dari Dinas Pertanian (Dispertan) Kota Batu.

“Jauh lebih baik pemerintah melalui dinas terkait unuk mencari solusi bagaimana memulihkan keadaan lahan. Daripada memberikan bantuan bibit, saprodi dan program pertanian organik dengan biaya besar tiap tahun yang belum terlihat,” papar Kaji Bianto sapaanya.

Ancaman kritisnya keberadaan apel jika tak tertangani dengan tepat pasti nanti akan musnah di Kota Batu. “Dengan adanya pilihan jeruk yang lebih murah perawatan dan hasil lebih menguntungkan, petani apel banyak yang beralih. Butuh peran serta nyata pemerintah mencari solusi terbaik,” tutupnya. (lih/jun)

disclaimer

Pos terkait