Surakarta, SERU.co.id – Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Bayu Suseno, SPsi, MPsi. Psikolog mengatakan penggunaan media sosial berlebih akan membawa dampak negatif bagi manusia, mulai dari kurangnya waktu untuk bersosialisasi, waktu belajar menjadi berkurang, kondisi emosional pengguna.
Bahkan fenomena terbaru yakni dampak berupa munculnya ketakutan tidak mengikuti atau mengakses media sosial yang jamak disebut sebagai FOMO atau Fear of Missing Out, hingga paparan konten social comparison yang membuat pengguna membandingkan dirinya dengan kehidupan kreator konten.
“Terkadang ketika kita sedang menggunakan media sosial lalu melihat konten orang lain, maka kita akan membandingkan diri kita dengan orang lain. Misalnya pencapaian orang atau sekadar membandingkan destinasi liburan di media sosial,” kata Bayu seperti dilansir UMS.ac.id, Jumat (28/6/2024).
Sama seperti kecanduan obat, Bayu menuturkan penggunaan media sosial secara berlebih akan memunculkan withdrawal effect, suatu kondisi tidak nyaman pada tubuh ketika tidak mengonsumsi obat-obatan.
“Muncul juga ketika sudah lama menggunakan media sosial tapi tiba-tiba tidak menggunakan media sosial lagi. Penggunaan berlebih akan meningkatkan toleransi tubuh dengan media sosial,” sambung Bayu.
Meskipun perilaku kecanduan media sosial sering mengganggu pengguna dalam menjalani kehidupan sehari-hari, Bayu mengatakan perilaku tersebut belum termasuk dalam klasifikasi gangguan medis.
Bayu mendasarkan argumennya pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) rilisan American Psychological Association dan The International Classification of Diseases dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Bahkan di DSM itu mereka tidak spesifik penggunaan media sosial tapi lebih ke gim internet. Itupun baru di-propose dan perlu dipertimbangkan sebagai gangguan untuk diklasifikasikan ke dalam DSM,” ujar magister psikologi profesi Universitas Gadjah Mada itu.
Menurut Bayu, kondisi psikologis bisa dikatakan sebagai gangguan apabila mengalami beberapa hal tertentu, salah satunya ketergantungan atau kecanduan. Dia mengambil contoh kasus kecanduan obat-obatan.
“Kalau kita tidak menggunakan obat-obatan itu, akan muncul sensasi fisiologis atau emosional yang tidak nyaman,” lanjut dia.
Kecanduan tersebut, sambung dia, juga disebabkan distres pada berbagai macam aspek kehidupan. Bayu melihat penggunaan media sosial berlebih belum dikategorikan sebagai kecanduan.
“Jadi lebih disebut sebagai excessive behavior atau perilaku yang berlebihan dalam menggunakan media sosial,” tambahnya.
Excessive behavior merupakan perilaku maladaptif, sebuah perilaku yang memberikan efek negatif atau perilaku yang tidak diharapkan. Tak jarang perilaku tersebut disertai dengan perilaku yang berbanding terbalik dengan produktivitas manusia.
Bayu menekankan pentingnya mewaspadai dampak negatif perilaku berlebihan, antara lain depresi, gangguan mental, gangguan psikologis, hingga merasa rendah diri. Menurutnya, semakin lama manusia terpapar konten di media sosial, maka otak manusia akan semakin banyak mendapat stimulus yang bisa membuat seseorang menjadi overload.
Kemudahan mengakses aplikasi dalam perangkat seluler saat ini, menurut Bayu, membawa dampak bagi psikis pengguna terutama kalangan anak-anak. Perilaku membuka aplikasi dalam waktu singkat akan membuat manusia terutama anak-anak menjadi lebih mudah tantrum dan tidak sabaran.
“Begitu tunjuk langsung dapat informasi, sehingga toleransi delayed gratification (kemampuan menahan diri untuk mendapat kepuasan) semakin berkurang,” jelas Bayu.
Bayu menekankan penggunaan media sosial jangan sampai mengganggu aspek kehidupan lain. Sangat penting bagi para pengguna media sosial untuk memperhatikan waktu layar atau time screen.
Hasil penelitian
Mengutip Databoks by Katadata, survei yang dilakukan Alvara Research Center pada tahun 2022 menyebut ada fenomena internet addicted user adalah orang yang menggunakan internet lebih dari 7 jam per hari.
Survei dilakukan dengan mewawancarai 1.529 responden dari kelompok usia generasi Z, milenial, dan generasi X di seluruh Indonesia. Hasilnya, responden yang mengakses internet dengan waktu 7-10 jam per hari mencapai 20,9 persen generasi Z, 13,7 persen generasi milenial, dan 7,1 persen generasi X.
Responden yang menggunakan internet selama 11-13 jam per hari dari kalangan generasi Z mencapai 5,1 persen, generasi milenial 3 persen, dan generasi X 2,4 persen.
Baca juga: Lewat Pelatihan Pengelolaan Medsos, Pj. Wali Kota Malang Ajak Bijak Bermedsos
Adapun responden yang mengakses internet di atas 13 jam per hari yang berasal dari generasi Z mencapai 8 persen. Sedangkan generasi milenial sebesar 3,7 persen dan generasi X 2,6 persen.
Survei lain dari State of Mobile 2023 menyebutkan Indonesia menduduki peringkat pertama di dunia untuk lama waktu mengakses perangkat seluler per hari. Rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu selama 5,7 jam sehari berselancar dengan gawai. (*/ono)