Meski akhirnya laporan tersebut oleh Bawaslu tidak dapat ditindaklanjuti, karena belum ada daftar resmi peserta Pemilu 2024. Laporan itu dinilai tidak memenuhi syarat materiil berdasarkan UU No. 2017 dan mengacu pada Peraturan KPU Nomor 3 tahun 2022.
“Karena laporan tersebut tidak memenuhi syarat materiil. Kalaupun masyarakat berpendapatan AB itu capres, itu boleh-boleh saja diungkapkan secara demokrasi. Namun secara UU, belum ada peserta pemilu atau capres secara resmi,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua DPRD Kota Malang, I Made Riandiana Kartika, akan mengajak sejumlah partai politik untuk menolak politik transaksional. Pasalnya, politik transaksional dinilai sebagai proses yang salah, dimana nantinya hasil yang didapat akan salah.
“Belajar dari pengalaman tsunami korupsi anggota DPRD Kota Malang sebelumnya, itu karena proses yang salah. Mereka menjadi liar karena proses yang salah, sehingga sangat mudah menerima suap dari pihak lain. Sebagai kompensasi atas biaya politik yang dikeluarkan sebelumnya,” terang Made, yang akan mengajak partai politik dalam penandatanganan pakta integritas.
Dirinya selalu mengingatkan kepada 45 anggota dewan yang saat ini duduk di DPRD Kota Malang. Bahwa proses yang dijalani tempo lalu sudah benar, sebab mereka adalah pendatang terbaru yang memiliki peluang yang sama. Tanpa harus bersaing dengan para anggota incumbent.
“Semua partai politik punya peluang yang sama untuk menang. Di Kota Malang, tidak ada incumbent yang maju, artinya calon legislatif yang duduk punya peluang yang sama. Baik suara terbanyak atau sedikit, ketika terpilih saat ini, gaji dan fasilitas yang didapat juga sama, buat apa pakai politik transaksional?” tegas politisi PDI Perjuangan ini.
Dirinya berani berkata demikian, lanjut Made, lantaran modal yang digunakan sangat minim selama kampanye 4-5 bulan tersebut. Itupun memang dipergunakan untuk membiayai akomodasi dan atribut kampanye.