Jakarta, SERU.co.id – Riset yang dilakukan para peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) tentang adanya potensi terjadi tsunami di Pulau Jawa, ramai diperbincangkan masyarakat. Penelitian yang telah dirilis dalam jurnal Nature Scientific Report itu, dijelaskan oleh salah satu anggota tim peneliti, Endra Gunawan.
Endra menjelaskan, riset tersebut dimulai sejak 5 tahun lalu, menggunakan analisis multi-data dari sejumlah peneliti. Ia mengatakan, sejarah gempa besar di Jawa tidak terdokumentasikan. Peneliti ITB menggunakan data dari penelitian yang mengambil sampel pasca gempa di Aceh 2004 lalu.
“Pasca gempa 2004 di Aceh, beberapa peneliti melakukan pengambilan sampel. Atau yang dikenal dengan paleoseismologi, untuk mengetahui sejarah gempa besar di masa lalu di kawasan tersebut,” jelas Endra, dikutip dari Kompas.
Hasil riset berasal dari anaisis data GPS dan data gempa yang terekam untuk mendeteksi potensi tsunami di Jawa. Data GPS menunjukkan terdapat zona sepi gempa. Maksudnya adalah, zona tersebut hanya terjadi pergerakan kecil, sehingga tidak terjadi gempa. Atau mungkin sebaliknya, di zona tersebut terkunci, sehingga tidak bisa bergerak.
“Karena gempa itu siklus, maka ada saatnya di mana di wilayah itu ada pengumpulan energi, lalu akan melepaskan saat gempa,” seru Endra.
Berdasarkan dua aspek yang digabungkan, yaitu data GPS dan data gempa yang berhubungan, riset tersebut menyatakan wilayah selatan Jawa berpotensi terjadi gempa. Daerah itu adalah Jawa bagian barat, Jawa bagian tengah dan Jawa bagian timur.
Endra mengandaikan, jika pada daerah yang disebutkan, terjadi gempa dalam waktu bersamaan, maka worst case menunjukkan adanya potensi gempa hingga besar magnitudo 9,1. Sementara, potensi tsunami yang diperkirakan adalah setinggi 20 meter.
Menurutnya, potensi tsunami itu berada di Jawa bagian barat sekitar Sukabumi, sedangkan Jawa bagian tengah adalah di sekitar pantai Provinsi DIY.
“Namun, perlu diingat gelombang tsunami yang akan terjadi, tergantung pada topografi dari tempat yang bersangkutan,” sambungnya.
Kendati demikian, Endra menegaskan, penelitian tersebut bukanlah prediksi kapan akan terjadinya gempa besar. Ia menyebut, peneliti mana pun tidak memiliki kemampuan untuk memprediksi terjadinya gempa bumi.
Sementara itu, pihak Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai riset peneliti ITB ini. Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi & Tsunami, Daryono menyatakan, hasil penelitian dari ITB tersebut adalah skenario terburuk.
“Besarnya magnitudo gempa yang disampaikan tersebut adalah potensi skenario terburuk (worst case), bukan prediksi yang akan terjadi dalam waktu dekat. Sehingga kapan terjadinya, tidak ada satu pun orang yang tahu,” ujar Daryono, dikutip dari Detik.
Ia menyebut, yang harus dilakukan oleh semua pihak adalah upaya untuk mengurangi dampak bencana tersebut.
“Apakah dengan meningkatkan kegiatan sosialisasi mitigasi, latihan evakuasi (drill), menata dan memasang rambu evakuasi, menyiapkan tempat evakuasi sementara. Kemudian membangun bangunan rumah tahan gempa, menata tata ruang pantai berbasis risiko tsunami, serta meningkatkan performa sistem peringatan dini tsunami,” sebutnya.
Pernyataan Daryono ini sekaligus menerangkan, risiko yang dimiliki Indonesia. Terlebih di Pulau Jawa, di mana terdapat jalur Sunda Megathrust, yang berpotensi menimbulkan gempa besar hingga tsunami. Ia pun meminta masyarakat untuk tidak panik dan tidak percaya begitu saja terkait waktu terjadinya gempa.
“Masyarakat awam pun menduga, seolah dalam waktu dekat di selatan Pulau Jawa akan terjadi gempa dahsyat. Padahal tidak demikian,” tandas Daryono. (hma/rhd)