Malang, SERU.co.id – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) Malang, Prof Dr I Nyoman Nurjana SH MH melontarkan kritik tajam terhadap Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang tengah dibahas.
Menurutnya, sejumlah pasal dalam rancangan ini berpotensi mengacaukan sistem peradilan pidana terpadu yang selama ini telah diatur secara jelas dalam KUHAP.
Dalam pernyataannya, Prof. I Nyoman menegaskan, sistem peradilan pidana di Indonesia memiliki mekanisme yang sudah mapan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
“Namun, beberapa ketentuan dalam RUU KUHAP justru menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara lembaga penegak hukum. Khususnya Kepolisian dan Kejaksaan,” seru Prof. I Nyoman, Kamis (23/01/2025).
Salah satu pasal yang disorot, Pasal 12 Ayat 11, mengatur jika dalam 14 hari Kepolisian tidak menanggapi laporan masyarakat, maka laporan dapat langsung diajukan ke Kejaksaan. Lebih dari itu, pasal ini juga memberikan kewenangan kepada Jaksa untuk menerima laporan masyarakat secara langsung.
Baca juga: Mahasiswi UB Sulap Limbah Sayur Jadi Pakan Ikan Bernutrisi, Raih Pendanaan BRIN
“Ini harus hati-hati! Dalam sistem peradilan pidana kita, penerimaan laporan oleh Kepolisian sudah jelas diatur. Pengecualian hanya berlaku untuk tindak pidana tertentu seperti korupsi. Dimana Kejaksaan memang memiliki kewenangan penyidikan,” tegasnya.
Selain itu, Pasal 111 Ayat 2 dalam RUU KUHAP juga dinilai kontroversial. Pasal ini memberikan kewenangan kepada Jaksa untuk mempertanyakan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Kepolisian. Menurut Prof. I Nyoman, ketentuan ini bertentangan dengan KUHAP dan putusan Mahkamah Konstitusi.
“Kewenangan Jaksa untuk menilai sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan akan merusak mekanisme yang sudah selaras. Ini bisa menimbulkan conflict of norms dan ketidakpastian hukum,” kritiknya.
Baca juga: Rakernas Alumni FMIPA UB, Sinergi untuk Masa Depan Gemilang
Guru besar hukum UB ini juga menyinggung perubahan kewenangan Kejaksaan yang sudah diperluas melalui UU Nomor 11 Tahun 2021. Termasuk wewenang penyadapan dan intelijen. Jika RUU KUHAP semakin memperluas kewenangan Jaksa, dikhawatirkan hal ini akan mengganggu keseimbangan dalam sistem peradilan pidana.
“Penegakan hukum kita sudah diatur dengan jelas. Jika Jaksa diberikan kewenangan lebih luas, termasuk intervensi dalam penyelidikan dan penyidikan yang menjadi tugas Polri, maka ini akan menimbulkan conflict of interest,” ujarnya.
Baca juga: Inovasi 3D Printing FK UB Optimalikan Akurasi Operasi Patah Tulang
Lebih jauh, Prof. I Nyoman juga mempertanyakan apakah RUU KUHAP ini merupakan perubahan dari UU Nomor 8 Tahun 1981 atau rancangan baru untuk menggantikannya secara keseluruhan. Ketidakjelasan ini, menurutnya, bisa berdampak buruk pada sistem hukum yang sudah ada.
“Jika ini belum jelas, maka perlu kehati-hatian. Jangan sampai perubahan ini justru merusak sistem yang telah terbangun,” tambahnya.
Sebagai penutup, Prof. I Nyoman mendesak DPR RI agar lebih berhati-hati dalam membahas RUU KUHAP ini. Ia menekankan, pentingnya mendengar masukan dari akademisi, praktisi hukum dan pengamat hukum agar tidak terjadi kesalahan fatal dalam pembentukan regulasi.
“RUU ini harus dibahas lebih hati-hati. Jangan sampai perubahan justru merusak sistem peradilan pidana terpadu yang telah lama kita anut,” tegasnya. (afi/mzm)