Malang, SERU.co.id – Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB TNBTS) merilis masih adanya macan tutul Jawa, khususnya di kawasan Gunung Bromo. Temuan tersebut berdasarkan hasil survei Java Wide Leopard Survei (JWLS) sementara selama Februari hingga Juni 2024. Dimana hasil pendugaan sementara, ada 24 ekor macan tutul Jawa, meski hasil ini belum bisa dikatakan valid lantaran menunggu rampungnya survei JWLS.
Kepala Balai Besar TNBTS, Rudijanta Tjahja Nugraja mengatakan, macan tutul Jawa memang hanya ada di pulau Jawa, dari ujung timur ke ujung barat. Kawasan TNBTS merupakan salah satu dari 21 lanskap habitat macan tutul (panthera pardus melas) di sepanjang pulau Jawa.
“Kami mengadakan survei Java Wide Leopard Survei (JWLS) tentang survei terpadu keberadaan populasi macan tutul di lanskap Pulau Jawa. Dari hasil pemantauan kamera trap di TNBTS hingga bulan Juni 2024, pendugaan kasar ada 24 ekor,” seru Rudi, sapaan akrabnya kepada awak media, Kamis (23/1/2025).
Disebutkannya, kolaborasi survei JWLS antara Yayasan SINTAS dan TNBTS dipantau kamera trap atau kamera intai dengan metode terstruktur. Tersebar di beberapa tipe ekosistem, mulai dari hutan pegunungan bawah, hutan pegunungan atas, hutan sub-alpin hingga savana. Kamera intai atau pemantauan dilakukan terstruktur pada 40 unit sampling berukuran 4 km2 atau 2×2 km selama minimal 90 hari.
Baca juga: Disiapkan Titik Parkir untuk Pengunjung TNBTS di Momen Nataru Guna Antisipasi Kemacetan
Kamera diletakkan di lokasi-lokasi yang memiliki tanda tak langsung dari keberadaan macan tutul, seperti adanya feses, bulu maupun jejak kaki. Tujuannya, mengkonfirmasi keberadaan satwa tersebut secara langsung melalui tangkapan kamera.
“Jadi 24 ekor itu hitungan kasar atau sampling, masih belum final, makanya disebut pendugaan. Belum 100 persen, tapi mendekati valid dalam tahap analisa lanjutan,” jelas Rudi.

Meski hidup di kawasan konservasi yang relatif terlindungi, macan tutul tetap menghadapi ancaman, yaitu perburuan, perubahan habitat dan ketiadaan mangsa. Sehingga, keberadaan macan tutul harus dipertahankan, agar keseimbangan piramida rantai makanan di hutan pulau Jawa tetap terjaga. Jika macan tutul hilang dari rantai makanan, maka dapat dipastikan populasi hewan mangsa tidak terkontrol dengan baik.
“Macan tutul Jawa saat ini sebagai pemangsa puncak tunggal dalam rantai makanan, setelah harimau Jawa (panthera tigris sondaicus) punah di akhir dekade 70-an. Jika macan tutul punah, maka akan mengakibatkan dampak ekologis, baik terhadap ekosistem maupun terhadap manusia,” jelas Rudi, didampingi Kepala Bidang Teknis BBTNBTS, Seno Pramudita.
Baca juga: TNBTS Bantah Isu Aktivitas Hujan Abu Vulkanik Gunung Bromo
Dicontohkannya, meledaknya populasi babi hutan misalnya, akan menimbulkan persaingan habitat dan pakan tinggi. Dampaknya babi hutan akan masuk ke ladang dan kebun, hingga pemukiman untuk mendapatkan makanan.
“Situasi ini akan berbeda, jika macan tutul masih eksis, maka hewan mangsa seperti babi, musang, kelinci, akan terkendali. Meminimalisir dampak lain pada produksi hasil pertanian dan resiko zoonosis (penularan penyakit) dari hewan ke manusia,” terangnya.
Disinggung terkait munculnya dua ekor macan tutul, namun berwarna hitam, beberapa waktu lalu di kawasan TNBTS. Sekilas penampakan dua macan tutul di TNBTS itu, banyak yang menganggap sebagai macan kumbang.
Baca juga: Meskipun Mengganggu, TNBTS Sebut Fenomena Dust Devil di Bromo Tidak Berbahaya
Pihak TNBTS menyebut, warna hitam pada macan tutul tersebut disebabkan oleh suatu kondisi genetik yang disebut melanisme. Dimana melanisme adalah kondisi hewan memiliki pigmen gelap yang berlebihan pada kulit atau bulunya. Hal ini disebabkan oleh mutase genetik yang meningkatkan produksi melanin, pigmen yang bertanggung jawab atas warna gelap.
Dilansir dari wikipedia, macan kumbang (bahasa Inggris: black panther) adalah istilah untuk ragam melanisme rambut. Dimana ditemukan pada kucing besar jenis macan tutul (panthera pardus) dan jaguar (panthera onca).
“Untuk memastikan apakah macan tutul itu indukan atau anakan masih belum dipastikan, karena biasanya anakan akan mengikuti induknya. Ketika remaja dia akan mencari makanan sendiri, namun masih di habitat mereka sendiri. Terkait jantan-betina, kami juga belum bisa memastikan dari kamera. Kalau jantan 3 tahun, betina 2,5 tahun, itu bisa dikatakan dewasa dan bisa reproduksi atau mengalami musim kawin,” tandas Seno Pramudita. (rhd)
View this post on Instagram