Malang, SERU.co.id – Bencana longsor masih menjadi ancaman di wilayah hulu Sungai Brantas, khususnya di wilayah Kota Malang. Selama Januari 2021 telah terjadi 22 kejadian longsor di Kota Malang, seluruhnya terjadi pada sempadan sungai.
Salah satunya, terjadi longsor di JI. Sadang, Kel. Bunulrejo, Kec. Blimbing, Senin (18/1/2021). Hingga mengakibatkan satu korban jiwa yang tenggelam di Sungai Bango akibat longsor tersebut. Merespon kejadian longsor tersebut, Perum Jasa Tirta (PJT) I mengingatkan tentang kondisi geografis dan geologi Kota Malang.
“Malang berada di lokasi perbukitan yang sebagian besar tanahnya terbentuk dari hasil pelapukan material erupsi di masa silam, sehingga tanah relatif mudah tererosi oleh air. Tanah mudah longsor pada saat jenuh dan dibebani oleh aktivitas manusia di atasnya,” ucap Direktur Utama Perum Jasa Tirta (PJT) I, Raymond Valiant Ruritan.
Menurut Raymond, masih terdapat intensitas hujan yang tinggi di 2021. Hal itu juga diprediksi berdampak pada kerentanan longsor yang terjadi di sempadan empat sungai besar yang ada di Kota Malang, yakni Brantas, Bango, Amprong, dan Metro.
Raymond menjelaskan, Sungai Brantas dari daerah Oro-oro Dowo sampai Jodipan merupakan daerah rawan longsor. Begitu juga beberapa area lain yang ada di tiga sungai lainnya. Dihimbau warga yang akan membeli rumah maupun apartemen di daerah sempadan atau dekat sungai juga perlu hati-hati.
“Yang terlanjur bermukim disana, maka perlu meningkatkan kewaspadaan. Jika rumah sudah mulai ada retakan, maka itu mengindikasikan adanya pergerakan tanah dan rawan longsor. Pastikan jaminan keamanan yang menjadi kewajiban developer atau pengelola apartemen itu tersedia,” sarannya.

Dari catatan PJT I, debit terbesar Sungai Brantas di Kota Malang 1.580 m3/detik terjadi pada Desember 2007. Debit yang terpantau pada saat terjadi hujan dengan ketebalan 70 mm dalam satu jam pada tanggal 18 Januari ternyata masih di kisaran 200 m3/detik. Selain itu, elevasi Kota Malang sekitar 380-400 mdpl, sedangkan dasar sungai berada di 360-370 mdpl.
“Setidaknya, ada perbedaan elevasi 10 meter antara permukaan tanah di kota dengan dasar sungai di sekelilingnya. Artinya, masih ada perbedaan yang cukup untuk mengalirkan air dari drainase ke sungai,” ungkapnya.
Namun kata dia, salah satu masalah yang kerap terjadi di Kota Malang saat durasi hujan cukup lama adalah tingginya genangan. Karena fungsi drainase tidak mampu mengalirkan air dengan lancar. Selain itu, saluran irigasi di beberapa tempat di sekitar Kota Malang juga beralih fungsi menjadi saluran drainase.
Kepala Pusat Studi Kebumian dan Mitigasi Bencana Universitas Brawijaya, Adi Susilo mengatakan, sempadan bukan hak manusia, karena merupakan ruang yang menjadi haknya sungai. Karena sebelum dilakukan pembangunan, umumnya dilakukan pengurukan tanah yang sifatnya rentan longsor karena tidak padat.
“Tentu sempadan yang digunakan sebagai pemukiman maupun aktivitas lain, seperti hotel dan apartemen juga menjadi sangat rawan longsor. Untuk itu, aturan batas sempadan harus dipatuhi dan kearifan lokal juga perlu diperhatikan. Warning dari alam juga perlu diwaspadai agar bencana bisa dihindari,” imbaunya.
Selain itu, Adi mengingatkan pentingnya koordinasi antar instansi agar ada langkah yang sinergis dalam penanganan bencana di sempadan sungai.
“Masyarakat yang menggunakan sempadan tetap mendapat aliran listrik dari PLN. Jika memang daerah terlarang untuk bangunan, seharusnya izin tidak keluar. Sehingga proses pemberian listrik juga tidak diberikan,” pungkasnya. (rhd)