Malang, SERU.co.id – Tak butuh waktu lama bagi Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang untuk kembali menambah guru besar. Usai Januari 2020, kali ini kampus biru ITN Malang kembali menambah satu guru besar lagi. Adalah Prof DrEng Ir I Made Wartana, MT, Guru Besar Fakultas Teknologi Industri (FTI) ITN Malang, Bidang Ilmu Teknik Elektro. Prof Made, sapaan akrabnya, merupakan guru besar ke tujuh ITN Malang dan guru besar kedua di Jurusan Teknik Elektro S-1 setelah Prof DrEng Ir Abraham Lomi, MSEE.
Menurut Prof Made, Surat Keputusan (SK) Profesor dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI sudah keluar pada bulan November 2019 yang lalu, namun baru diterima pada akhir Mei 2020. “SK profesor baru 29 Mei (2020) kemarin saya terima, dan selama proses (pengajuan) tidak ada revisi. Untuk pengajuannya (profesor) sudah sejak Juni 2018, kemudian bulan Agustus 2019 lolos, dan SK turun di bulan November 2019. Sebenarnya pengajuan profesor berbarengan dengan Prof Lalu Mulyadi, tapi saya upload-nya selisih enam bulan, duluan Prof Lalu,” ungkap Prof Made, dalam keterangan resminya.
Awalnya Prof Made sempat berfikir tidak akan sampai meraih gelar profesor dalam karir akademiknya. Mengingat Made kecil berasal dari keluarga sederhana dari Kelurahan Panjer, wilayah Kecamatan Denpasar Selatan, Denpasar, Bali. Sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara, Made hanya berkeinginan bisa lulus sekolah, kemudian lekas mendapatkan pekerjaan untuk membantu orang tua menyekolahkan adik-adiknya.
“Sebenarnya impian saya untuk sekolah tinggi tidak ada. Karena saudara banyak, orang tua hanya guru sekolah dasar, akhirnya saya sekolah STM kala itu sambil membantu bertani. Kalau sekolah STM kan bisa langsung bekerja, yang ada di pikiran saya agar adik-adik saya bisa sekolah,” cerita Prof Made.
Keinginan Made masuk STM sebenarnya ingin mengambil jurusan teknik mesin, namun berhubung kuota sudah penuh, akhirnya ia mengambil jurusan elektro. Harapannya, selepas tamat STM bisa langsung bekerja. Lagi pula kalaupun mau mengikuti tes masuk perguruan tinggi, prediksinya juga tidak akan lolos karena mata pelajarannya berbeda.
Namun, atas dorongan pamannya, akhirnya Made muda memiliki keinginan untuk kuliah. Terjadilah kebimbangan dalam diri Made. Disatu sisi dia terlanjur lulusan STM, disisi lain orang tua tidak cukup biaya untuk menguliahkan Made. Padahal Made adalah anak yang pintar, terbukti sejak sekolah dasar selalu menjadi langganan juara kelas.
“Begitu tamat STM, paman saya punya ide. Katanya ‘kamu pintar, harus sekolah lagi’. Akhirnya saya ikut paman ke Malang. Dengan percaya diri daftarlah di IKIP Malang tahun 1981. Ternyata jurusan elektro tidak ada. Kemudian mencoba daftar ke Uiversitas Brawijaya (UB), namun tidak bisa lantaran saya lulusan STM,” ungkap Prof Made.
Sebenarnya kalau Made mau, bisa saja kala itu dia bekerja. Sebagai 10 lulusan terbaik di sekolahnya, dia mendapat pangilan dari PLN Denpasar. Namun, Made tetap bersikukuh lanjut kuliah, apalagi saat ada panggilan tersebut, dia sudah berada di Malang.
Nasib mujur masih berpihak pada Made. Saat pulang mendaftar dari UB dengan berjalan kaki, Made melewati kampus Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, yang kala itu masih bernama Akademi Teknik Nasional (ATN). Perasaan optimis bisa kuliah langsung muncul pada diri Made. “Ya, pas jalan kaki dari UB mau pulang ke jalan Jombang, lewatlah saya di Jalan Bendungan Sutami. Di situ ada papan nama ATN dan ada jurusan Teknik Elektro. Nah, dari situlah akhirnya saya daftar ke ITN Malang. Apalagi nama rektornya terkenal saat itu, Pak Abel Silalahi,” lanjutnya.
Bersyukurlah Made muda diterima dengan jalur lulus murni dan hanya membayar uang masuk sebesar Rp 300 ribu. Padahal kalau Made sampai masuk cadangan, dia harus mengeluarkan dana Rp 1 juta, uang yang cukup besar bagi Made, mengingat biaya masuk kuliah dibantu oleh sang paman.
Meski saat STM Made mengambil jurusan elektro, namun ternyata saat kuliah banyak materi perkuliahan yang harus dipelajari. Saat itulah Made sempat drop, pasalnya di perkuliahan teknik ada pelajaran matematika dan fisika yang lebih rumit. “Ya, belajarnya dari teman-teman Cina, mereka banyak bantu saya. Tapi hanya satu semester, di semester kedua saya sudah bisa mengejar ketertinggalan saya,” kenang Made.
Selepas lulus dari ATN (ITN Malang), Made diangkat menjadi asisten, kemudian melamar menjadi dosen di Teknik Elektro. Sampai saat ini, sudah banyak jabatan yang diemban Prof Made. Salah satunya sebagai Wakil Rektor 3 Bidang Kemahasiswaan.
Prof Made sadar akan perannya sebagai dosen harus meng-upgrade ilmu pengetahuan. Sarjana muda (S-1) saja tidak cukup. Maka, ia melanjutkan S-2 ke ITB. Pada waktu kuliah di ITB, Made melamar dan berhasil lolos menjadi PNS (sekarang Aparatur Sipil Negara- ASN). Bahkan tanggung jawabnya sebagai dosen, akhirnya membawa dia ke Thailand untuk melanjutkan S-3.
Salah satu kebiasaan Made adalah belajar Bahasa Inggris, meski digunakan atau tidak. Ternyata kebiasaan ini memberi hikmah jalan mulus bagi Made mendapatkan beasiswa. Dan di tahun 2008, DIKTI memberikan peluang beasiswa DIKTI scholarship, dimana DIKTI mengeluarkan kebijakan S-3 ke luar negeri.
“Studi ke Thailand umur saya sudah 47 tahun. Saya menjadi salah satu dari 1000 orang yang lolos beasiswa di tahun 2008. Sebenarnya sudah out of date (kadaluarsa) untuk kuliah lagi. Namun, saya merasa memiliki tanggung jawab sebagai dosen. Long life education tidak ada batas untuk belajar. Sampai matipun belajar belum akan tuntas. Kalau mampu kenapa tidak, selama itu ada peluang,” cerita alumnus doktoral Asian Institute of Technology (AIT), Thailand ini.
Kedepannya Profesor Made siap berkiprah lebih jauh lagi di dunia pendidikan. Dia berharap capaiannya sebagai profesor bisa memotivasi dosen-dosen lainnya, terutama dosen-dosen muda. (rhd)