Jakarta, SERU.co.id – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyatakan penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja yang sedang dibahas pemerintah dan DPR RI. Menurut Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnomo, UU Cipta Kerja ini akan berpotensi menjadikan pendidikan sebagai komoditas dagang.
“Keberadaan pasal ini sama saja dengan menempatkan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan,” seru Heru.
Heru memaparkan, kata ‘usaha’ diartikan sebagai tindakan, perbuatan, atau kegiatan apa pun dalam bidang perekonomian dan bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 huruf d UU Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.
Sebagaimana dituliskan dalam UU Cipta Kerja di Pasal 26, tertuang entitas pendidikan sebagai kegiatan usaha. Pada Pasal 65, terdapat pengaturan pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan dengan perizinan berusaha. Dalam Pasal 65 ayat (2) menjelaskan, ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perizinan sektor pendidikan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
“Jadi pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam UU ini, maka berarti menempatkan pendidikan untuk mencari keuntungan. Padahal pendidikan adalah usaha sosial, bukan untuk mencari keuntungan,” papar Heru, Rabu (7/10/2020).
Heru menjelaskan, hal tersebut bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 yang berisi, tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini juga bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945 hasil amandemen. Dalam pasal tersebut disebutkan, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan negara wajib memenuhi hal itu dalam kondisi apa pun.
“Dan pasal 31 UUD 1945 hasil amendemen menyatakan bahwa pendidikan itu merupakan hak yang dimiliki oleh setiap warga dan negara wajib memenuhinya dalam kondisi apa pun,” seru Heru.
Selain FGSI, penolakan tentang adanya pembahasan sektor pendidikan di UU Cipta Kerja juga ditolak oleh Perkumpulan Keluarga Besar Taman Siswa. Mereka bahkan berencana untuk mengajukan gugatan uji materi UU ini kepada Mahkamah Konstitusi (MK). (hma/rhd)